DAFTAR ISI

PANDHAPA

Dari Redaksi

OPINI

1- Siapa Bilang Biaya Pendidikan (di Sumenep) Kita Mahal: Drs. Akhmad Nurhadi, S.Pd, M.Si

2- Komersialisasi Pendidikan : Antara Kualitas dan Keterjangkauan:. Ahmad Halimy, SE, M. Pdi

3- Pendidikan Mahal : Sebuah Fenomena Persepsi Masyarakat:. Suparji

4- Mengkritisi Pendidikan Mahal: Farid Mashudi

5- Mahalnya Biaya Pendidikan : Sebuah Pengingkaran:Hidayat Raharja

6- Duh ! Biaya Pendidikan Kita: Abd. Kadir

7- Krisis Kemanusiaan Modern dan Peran Pendidikan Islam: Abdul Wahid Hasan, S. Ag. M.Pdi

WAWANCARA

K. Ilyasi Siradj, SH, M.Ag:Waspadai Orientasi Pendidikan Kapitalistk

KOLOM

1- Dicari : Pemimpin Pendidikan: Nurul Hidayat , S.Ag. M.Pd

2- UUD’45 & Pendidikan Tanpa Kelas: Mohammad Suhaidi RB.

RESENSI

KBK, Metode Baru Membebaskan Sekolah: Molyadi Wasik

 

 

 

 

PANDHAPA

DARI REDAKSI

Dulu, kita dapat menjumpai beberapa lembaga pendidikan yang menerima pembayaran SPP dengan sistem pembayaran barang, bukan uang. Di salah satu kecamatan di kabupaten Sumenep, ada lembaga di mana banyak wali murid yang membayar SPP anaknya dengan gula merah dan atau binatang ternak. Akan tetapi, justru ketika krisis moneter melanda negeri ini, kasus di atas hampir tidak kita temukan. Adakah fenomena ini merupakan sinyal membaiknya income per kapita ataukah memang karena kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan yang semakin baik? Boleh jadi karena kedua-duanya. Tapi, jika alasannya adalah karena “semakin murahnya biaya pendidikan”, saya kira bukan.

Biaya pendidikan kita pada saat ini memang terbilang mahal, apalagi jika kita melihatnya dengan pertimbangan kondisi finansial masyarakat kebanyakan. Setiap tahun ajaran baru, terutama lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berada di luar lingkungan pondok pesantren, biaya pendidikan terus merangkak naik, walaupun sebagian masyarakat masih tetap dapat menjangkau biaya tersebut meskipun dengan kemampuan minimal. Namun, banyak pula kita jumpai lembaga-lembaga pendidikan yang diminati masyarakat justru karena mahal. Masyarakat kita masih menganggap bahwa biaya mahal identik dengan bonafiditas, excellent, dan tentunya gengsi sekalipun persepsi ini hanya mewakili masyarakat sebagian. Melambungnya biaya pendidikan seolah-olah merupakan “tuntutan image masyarakat”, semakin mahal biaya pendidikan suatu lembaga, maka lembaga tersebut dianggap semakin berkualitas.

Contoh kasus adalah laboratorium bahasa di pesantren. Jika pesantren membuka program kursus paket liburan—anggaplah misalnya kursus Bahasa Inggris—dengan biaya relatif murah, pada umumnya santri kurang berminat. Mereka justru memanfaatkan liburan pesantren untuk mengikuti kursus-kursus serupa di luar pesantren dengan konsekuensi biaya yang tentunya bisa dipastikan lebih mahal. Sepertinya, gejala ini merupakan image yang telah melekat di dalam pikiran masyarakat bahwa yang baik itu pasti mahal dan demikian sebaliknya, meskipun memang benar bahwa pendidikan yang berkualitas juga membutuhkan tunjangan finansial yang memadai.

Sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya mendapatkan pelayanan pendidikan secara adil, pada saat yang sama kita menghadapi kenyataan yang kontradiktif. Di satu sisi, ketika sebuah lembaga pendidikan modern menerapkan sistem pembayaran dan registrasi di internet, di sisi lain masih banyak lembaga pendidikan dengan siswa-siswanya yang hanya sebatas kemampuan mengangsur uang SPP, bahkan nunggak hingga akhir tahun.

Barangkali, mahalnya biaya pendidikan, terutama di dalam masyarakat pedesaan, sebenarnya tidak begitu terasa, apalagi jika perserta didik masih duduk di bangku sekolah dasar (SD/MI). Namun, pada saat mereka menginjak jenjang sekolah lanjutan, biaya buku, les, SPP, uang gedung, dan sumbangan-sumbangan lainnya—terutama sekolah-sekolah swasta—mulai terasa menyesakkan dada. Akan tetapi, lain soal jika mereka berasal dari golongan menengah ke atas. Sebab, masalah yang sedang kita hadapi adalah masalah kebanyakan, bukan perkecualian.

Biaya pendidikan di perguruan tinggi, terutama untuk jurusan-jurusan tertentu, seperti kedokteran dan ilmu-ilmu eksakta, mahal bukan kepalang, bahkan bisa dibilang tidak realitis. Kita yang berasal dari keluarga menengah ke bawah hampir tidak mungkin memberangkatkan anak kita untuk menempuh jenjang strata-1 fakultas kedokteran kecuali siap mengeluarkan biaya mendekati seratus juta-an hanya untuk mendaftarkan anak kita itu sebagai mahasiswa, itupun belum termasuk uang praktek, sumbangan ini dan itu, dan seterusnya.

Persoalan pendidikan mahal bukan semata-mata merupakan persoalan yang hanya menjadi tanggungjawab instansi tertentu di dalam lingkungan departemen pemerintahan. Persoalan ini begitu komplek dan telah menjadi benang kusut; minimnya SDM dalam kaitannya dengan profesionalisme tenaga pengajar, kebocoran subsidi dan tunjangan, korupsi, dan banyak persoalan lain juga menjadi penyebabnya. Jika kita memperhatikan masyarakat di negara-negara maju, pada umumnya mereka memiliki apresiasi yang baik terhadap segala kebijakan pemerintah. Hal ini muncul karena adanya hubungan mutualisme yang setimpal. Misalnya, pengelolaan pajak yang maksimal dengan memberikan layanan pendidikan murah atau pilihan layanan kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat secara gratis. Bisakah kita mencontoh? Rasanya, sulit bagi kita berbuat seperti itu, sementara kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah masih sangat rendah. Jika pajak, misalnya, benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya, dengan bukti-bukti konkret pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang riil dan transparan, barangkali kesadaran masyarakat untuk membayar pajak tidak perlu diklankan di televisi. Dengan sendirinya masyarakat tentu mau membayar pajak demi fasilitas yang mereka dapatkan, misalnya dengan konsekuensi biaya pendidikan menjadi murah.

Nah, bagaimana masyarakat yang ideal sebagaimana digambarkan di atas dapat terwujud dalam kehidupan kita? Barangkali, secara bertahap, beberapa tahun di muka kondidisi masyarakat semacam itu insya Allah dapat terwujud jika ada niat dan kemauan. Tetapi, bisa juga mustahil jika kita hanya bisa mengeluh dan tidak menyiapkan perencanaan. Jadi, mari kita upayakan hal itu, bekerja bersama-sama, mulai dari sini. Sekarang.

(M. Faizi )

 

 

 Back To Daftar Isi

OPINI

SIAPA BILANG BIAYA PENDIDIKAN (DI KABUPATEN) KITA MAHAL

Oleh: Drs. Akhmad Nurhadi, S.Pd., M.Si.,

sekretaris PC LP Maarif NU Kab. Sumenep

 

PENDAHULUAN

Amerika Serikat mempunyai pengalaman yang sangat menakjubkan terhadap persoalan mentransformasi semangat wirausaha ke dalam sektor publik, termasuk di dalamnya layanan pendidikan. Dua buku seri manajemen strategis yaitu Reinventing Government: How The Interpreneurial Spirit is Transforming The Publik Sector oleh David Osborn and Ted Gaebler dan Banishing Bureaucracy: The Five Strategies forReinventing Government oleh David Osborn and Peter Plastrik dapat dijadikan sebagai rujukan.

Kemudian ketika pada gilirannya gagasan mewirausahakan birokrasi dengan strateginya mampu memukau banyak pihak, - terbukti gagasan tersebut laris manis bahkan menjadi materi pokok perkuliahan di sejumlah program magister administrasi di Indonesia -, tak pelak gagasan tersebut semakin mewarnai pola formulasi kebijakan di beberapa sektor publik, inheren sektor layanan pendidikan. Gagasan penerapan pola otonomi kampus melalui badan hukum milik negara (BHMN) di sejumlah Perguruan Tinggi atau manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/manajemen berbasis sekolah (MPMBS/MBS) di beberapa sekolah dapat dipakai sebagai indikator diberlakukannya gagasan mentransformasi semangat wirausaha dengan berbagai strateginya ke dalam sektor layanan pendidikan.

Persoalan yang muncul kemudian adalah Perguruan Tinggi atau sekolah menjadi merasa mempunyai legitimasi setidaknya mengatasnamakan otonomi kampus atau otonomi sekolah untuk mematok biaya kebutuhan pendidikan, seperti uang pangkal/uang gedung, SPP/Iuran bulanan, uang praktikum, dll. Biaya tersebut seringkali dirasakan orang tua peserta didik pada umumnya sebagai beban yang sangat memberatkan.

BIAYA PENDIDIKAN DI SEKOLAH FAVORIT

Benarkah biaya sekolah mahal? Tabel berikut memberikan gambaran secara nasional biaya sekolah dari jenjang pra pendidikan dasar, pendidikan dasar dan pendidikan menengah sekolah-sekolah favorit. Data dikutip dari Koran Tempo Minggu, 11 Mei 2003.

Data berikut masih dapat dipertimbangkan dengan asumsi, bahwa biaya pendidikan yang menjadi tanggungan orang tua/wali perserta didik dalam sejarah pendidikan di Indonesia belum pernah mengalami penurunan.

BIAYA DI SEKOLAH-SEKOLAH FAVORIT

No.

SEKOLAH

TINGKAT

UANG PANGKAL

SPP PERBULAN

1.

Mutiara Indonesia

TK

Rp 2,5 – 3,5 juta

Rp 125 – 200 ribu

2.

Tutor

TK

Rp 4 juta

Rp 75 ribu

3.

Cikal

TK

Rp 5,5 juta

Rp 200 – 700 ribu

4.

JIMS

Kindergarten

Reception

Primary

Rp 4 - 6 juta

US $ 1.000

US $ 2.500

Rp 5 - 8,5 juta

US $ 2.250

US $ 3.500

5.

Madania

TK

SD

SMP

SMU

Rp 17 juta

Rp 30 juta

Rp 30 juta

Rp 17 juta

Rp 650 ribu

Rp 500 ribu

Rp 600 ribu

Rp 1,5 – 2 juta

6.

Al-Azhar

TK

SD

SMP

SMU

Rp 7 – 8 juta

Rp 8 – 10 juta

Rp 8 – 9 juta

Rp 8 – 9 juta

Rp 250 – 300 ribu

Rp 250 –300 ribu

Rp 250 –300 ribu

Rp 250 – 300 ribu

7.

Pembangunan Jaya

Semua

Rp 10 juta

Rp 300 – 400 ribu

8.

Global Jaya

TK

SD

SMP

SMU

Rp

Rp 41,8 juta

Rp 41,8 juta

Rp 41,8 juta

Rp 2,6 juta

Rp 3 juta

Rp 3 juta

Rp 3 juta

9.

Insan Cendikia

Semua

Rp 8 – 10 juta

Rp 500 – 900 ribu

10.

Nurul Fikri

SD

Rp 6 – 7 juta

Rp 225 – 300 ribu

11.

Marsudiniri

TK

SD

Rp 3 – 7 juta

Rp 4 – 10 juta

Rp 125 – 175 ribu

Rp 150 – 200 ribu

12.

Bunda Hati Kudus

TK

SD

SMP

SMU

Rp 4 juta

Rp 5 juta

Rp 5 –10 juta

Rp 5 –10 juta

Rp 150 ribu

Rp 175 ribu

Rp 200 ribu

Rp 200 ribu

13

Al-Azhar Syifa Budi

Semua

Rp 9 –11 juga

Rp 400 ribu

14.

Pelita Harapan

SD

SMU

Rp 17,6 juta

US $ 3.000

US $ 3.000

US $ 7.500

15.

Perguruan Cikini

SD

SMP

SMU

Rp 2,75 juta

Rp 3,75 juta

Rp 5 juta

Rp 150 ribu

Rp 250 ribu

Rp 200 ribu

16.

Tarakanita

SD

SMP

Rp 5 juta

Rp 7,5 juta

Rp 200 ribu

Rp 300 ribu

17.

Labschool

SMU

Rp 8 juta

Rp 175 – 225 ribu

 

BIAYA SEKOLAH DI KABUPATEN SUMENEP

Dari data yang dihimpun penulis dapat disimpulkan bahwa uang pangkal (boleh dimaknai uang gedung, uang sumbangan insidental, uang pembangunan, atau istilah versi sekolah masing-masing) berkisar untuk tingkat SMP Rp. 0,- sampai Rp 125 ribu, sedangkan untuk SMA berkisar antara Rp 100 ribu sampai Rp 750 ribu. Tentu saja orang tua masih perlu mengeluarkan dana untuk seragam sekolah, seragam olah raga, buku pelajaran, buku tulis, uang jajan, uang transport/bensin/becak, dan sumbangan-sumbangan lain, seperti lomba keindahan kelas, tujuh belasan, uang ulangan semerter, uang UAN, dan kegiatan-kegiatan OSIS/sekolah lain. Tentu saja setiap sekolah mempunyai variasi baik dari segi ragam keperluan maupun jumlahnya.

Di samping itu orang tua masih harus menyediakan dana untuk bimbingan belajar yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tertentu atau les mata pelajaran tertentu (umumnya: Bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Fisika) yang diselenggarakan oleh guru yang bersangkutan.

Berikut akan disajikan biaya pendidikan di beberapa SMP dan SMA di Kabupaten Sumenep, dan tabel biaya bimbingan belajar yang diselenggarakan oleh lembaga bimbingan belajar di Kabupaten Sumenep.

Pada tahun pelajaran 2004-2005 ini SMA Negeri 1 Sumenep menarik SPP Rp 17.500,- - Rp 25.000,-dengan uang pangkal Rp 400.000,-, SMP Negeri 1 Sumenep menarik SPP Rp 16.000,- - Rp 17.000,- dengan uang pangkal Rp 100.000,-, SMP Negeri 1 Gapura menarik uang SPP Rp 7.500,- dengan uang pangkal masih dalam pertimbangan, SMP Negeri 1 Giligenting menarik uang SPP Rp 7.500,- dengan uang pangkal masih dalam pertimbangan, SMP Negeri 1 Nong-Gunong menarik SPP Rp 5000,- dengan tanpa uang pangkal.

Sebagai catatan, uang SPP merupakan istilah yang mengacu pada iuran rutin bulanan yang ditarik dari siswa, sedangkan uang pangkal merupakan iuran insidental yang dibayarkan kepada sekolah umumnya pada awal tahun ajaran oleh siswa baru. Rincian penggunaan uang pangkal bervariasi untuk setiap sekolah.

Kemudian data biaya bimbingan belajar siswa SD, SMP, dan SMA per-tahun dapat dicermati dari tabel berikut ini:

BIAYA BIMBINGAN PROGRAM RESERVASI: BERLAKU S.D. 31 MARET 2004

 

NO.

SEKOLAH

SEBELUM DISCOUNT

SETELAH DISCOUNT

KET

1.

 

2.

 

 

3.

SD (Kelas 4, 5, dan 6).

 

SMP (Kelas 1, 2, dan 3).

SMA (Kelas 1, 2, dan 3).

Rp 870.000 – Rp 1.075.000

Rp 975.000 – Rp 1.310.000

 

Rp 1.140.000 – Rp 1.140.000

Rp 505.00 – Rp 585.000

Rp 555.000 – Rp 605.000

 

Rp 605.000 – Rp 685.000

 

Sumber: Edaran yang dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Primagama Sumenep.

 

BAHAN RENUNGAN: SEBUAH REFLEKSI

Bertolak dari kemauan dan keputusan politik dilanjutkan dengan keputusan birokrasi terdapatlah UUD, GBHN, APBN, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan seperangkat aturan lain yang menyuratkan dan atau menyiratkan adanya hal yang paling krusial dalam kebijakan penyelenggaraan pendidikan, yaitu: pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat (GBHN 1999 – 2004) dan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari APBN dan APBD (APBN, UU No. 20 tahun 2003 pasal 49 ayat 1) , ditambah dengan kebijakan wajib belajar 9 tahun tanpa biaya (UU No. 20 tahun 2003 pasal 34 ayat 2 ), maka kebijakan-kebijakan lebih lanjut tentang pengelolaan pendidikan seyogyanya bermuara pada penyelenggaraan pendidikan bermutu dengan biaya terjangkau dalam wadah negara kesatuan Indonesia yang berbeda dengan Amerika Serikat. Artinya pendidikan di Indonesia tidak serta merta dapat mengikuti jejak Amerika Serikat dalam penerapan semangat wirausah dengan seperangkat strateginya.

Biaya pendidikan yang terjangkau dapat terwujud apabila pemerintah dan Komite Sekolah/masyarakat mampu memberikan pengendalian yang lebih serius terhadap pengelolaan uang sekolah baik yang bersumber dari APBD/APBN (rutin, grant, imbal swadaya, bantuan operasional manajemen mutu, proyek sekolah standar nasional, bea siswa berbagai jenis, dll) maupun dari masyarakat (SPP, uang pangkal, dan sumbangan lain) . Demikian juga pengawasan diperlukan untuk menghindarkan sekolah menjadi ajang bisnis buku pelajaran, kaos seragam, dan penyimpangan lain.

Di samping itu diperlukan pemantauan agar sekolah terdorong melakukan peran pembelajaran dengan lebih efektif. Sekolah efektif (effective school) harus menjadi barometer semua kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler di semua sekolah. Dengan sekolah yang efektif bimbingan belajar (Bimbel) menjadi tidak diperlukan (konon biayanya jauh melebihi uang sekolah) baik yang diselenggarakan oleh lembaga swasta atau model lain.

Sekolah yang efektif dengan program remedial dan pengayaannya (enrichment) akan mampu mengembangkan potensi akademik dan potensi nonakademik siswa seoptimal mungkin.

Sekolah efektif adalah sekolah dengan biaya terjangkau. Kepala sekolah yang transparan, accountable, dan demokratis di samping guru yang mampu menciptakan suasana siswa belajar (student learning) manjadi conditio sinequanon terselenggaranya sekolah yang efektif.

PENUTUP

Persoalan sekolah mahal, sekolah terjangkau, ataupun sekolah murah tentunya masih perlu dicarikan kriteria yang absolut. Bentuk memperbandingkan sajian data seperti uraian di atas tentu saja hanya sebatas menstimuli pembaca untuk menarik kesimpulan sendiri. Inipun masih mengandung debatable.

Barangkali menghitung semua biaya pendidikan persiswa sebagai unit cost dibandingkan dengan pendapatan perkapita setiap keluarga dapat dicoba sebagai alternatif lain. Inipun masih sangat dipengaruhi oleh faktor yang dijadikan prioritas keluarga, seperti: ibadah haji, pendidikan anak, rumah, sawah, ternak, atau yang lain. Mana yang dijadikan sebagai prioritas utama. Pendidikan anak belum tentu dijadikan prioritas utama keluarga.

Tentu saja bagi yang tidak meletakkan pendidikan anak sebagai prioritas utama berapapun penghasilannya berkecenderungan memberi tanggapan biaya sekolah berapapun jumlahnya akan terasa mahal.

Masihkah terasa pendidikan (di kabupaten) kita mahal ? Bilang saja.

Sumenep, 20 Oktober 2004

 

 

 

 Back To Daftar Isi

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN:

ANTARA KUALITAS DAN KETERJANGKAUAN

Oleh : Ahmad Halimy, SE, M.Pdi*)

 

Pengantar

Adalah merupakan suatu hal yang telah mafhum bahwa salah satu di antara tujuan berdirinya republik ini adalah untuk melaksanakan pendidikan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Konstitusi juga menegaskan bahwa pendidikan adalah bagian dari hak warga negara yang harus diupayakan oleh negara. Lebih dari itu, pasal 31 ayat (4) bahkan mengamanatkan bahwa negara harus memprioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN untuk membiayai pendidikan.

Walaupun secara konstitusional pendidikan telah jelas mendapatkan perhatian, namun yang terjadi akhir-akhir ini dalam dunia pendidikan menunjukkan gejala yang tidak begitu menyenangkan. Paling kurang ada dua fenomena kurang menyenangkan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Yang pertama terlihat dari berbagai kritikan yang dialamatkan pada dunia pendidikan, yang dianggap gagal dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Jika merujuk angka indeks pembangunan manusia (human development index) yang dikeluarkan oleh UNDP, terlihat bahwa peringkat Indonesia sejak tahun 1998 terus menerus menempati nomor urut yang buncit. Di Asia Tenggara, Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar dalam kualitas SDM, dan bahkan telah dikalahkan oleh Vietnam. Untuk tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat ke-112 dari 174 negara. Peringkat ini melorot lagi pada tahun 2004 ini menjadi peringkat 114 (Wijdan, 2004). Terlepas dari permasalahan metodologis yang digunakan oleh UNDP dalam pemeringkatan ini, hal ini secara jelas menunjukkan memudarnya perbawa dunia pendidikan Indonesia dalam pandangan internasional dan belum berhasilnya dunia pendidikan untuk memenuhi cita-cita bangsa.

Pada aspek yang kedua, terjadi gejala komersialisasi pendidikan, menyusul ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi amanat UUD 1945 untuk menyediakan paling sedikit 20% APBN untuk membiayai pendidikan. Fenomena komersialisasi ini dapat dipahami sebagai sebuah gejala penerapan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, harus dipahami bahwa lembaga pendidikan bukanlah lembaga yang murni bersifat sosial, dan bersifat nirlaba (Drost, 1998:222). Dalam operasionalisasinya sebuah lembaga pendidikan memerlukan dana yang besar untuk membangun gedung, menyediakan fasilitas pengajaran yang memadai dan juga membiayai tenaga edukatif . Dari sisi ini, jelas bahwa pendidikan memang "harus" mahal, namun di sisi lain mahalnya biaya pendidikan akan mengakibatkan terhalangnya kaum tak punya (the have nots) untuk mendapatkan pendidikan yang baik, walaupun mereka memiliki bakat yang bagus.

Dua permasalahan inilah yang menjadi masalah yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia. Aspek pertama menyangkut idealisme dunia pendidikan sebagai sebuah wahana pengembangan sumber daya manusia. Jadi ini masalah quality. Sedangkan persoalan kedua adalah komersialisasi dunia pendidikan dengan segala implikasi lanjutannya., dan hal ini jelas menyangkut pemenuhan hak warga negara untuk memiliki akses menjalani proses pendidikan. Tentu saja ini terkait dengan masalah keterjangkauan biaya pendidikan untuk sebanyak mungkin warganegara (accessibility). Tulisan ini hanya akan menyoroti aspek kedua, yaitu aspek komersialisasi pendidikan yang beberapa waktu terakhir banyak dibicarakan di media massa.

Komersialisasi Pendidikan : Mengapa ?

Komersialisasi pendidikan dalam tulisan ini dimaknai sebagai sebuah manajemen pendidikan yang menempatkan lembaga pendidikan sebagai sebuah institusi komersial. Sebagai sebuah lembaga komersial, maka lembaga pendidikan akan menerapkan prinsip perilaku produsen dalam ilmu ekonomi liberal, yaitu bahwa tujuan produksi adalah untuk memaksimalkan profit (profit maximizing). Profit dalam hal ini dimaknai secara finanasial. Dalam literatur ekonomi, profit maximizing secara sederhana dilakukan melalui dua cara, yaitu mengurangi biaya (cost reducing) di satu sisi dan penaikan pendapatan (revenue increasing).

Paling tidak ada tiga fenomena yang menonjol yang menimbulkan diskursus tentang komersialisasi (atau bahkan kapitalisasi) dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Fenomena pertama adalah fenomena menurunnya kemampuan pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dengan harga terjangkau. Penurunan kemampuan pemerintah ini disebabkan oleh banyaknya alokasi anggaran yang dipakai untuk membayar kewajiban berupa hutang, baik hutang luar negeri maupun hutang domestik, disamping faktor-faktor lain seperti disalokasi anggaran pendidikan yang menimbulkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas. Hal ini ditambah lagi dengan kekurangpedulian elite politik terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia secara menyeluruh, sehingga masalah pendidikan seringkali hanya menjadi retorika kampanye daripada sebuah program yang ingin dilaksanakan dengan tekad yang kuat.

Menurut catatan UNDP (United Nation Development Programme), dana pendidikan di Indonesia hanya 1 persen dari GNP (Gross National Product, keseluruhan nilai produk yang dihasilkan oleh warga negara Indonesia). Padahal, angka rata-rata untuk negara terbelakang saja sudah mencapai 3,5 % dan negara sedang berkembang 3,8 %. Dana pendidikan kita lebih kecil dari Australia, Malaysia, Singapura dan Thailand yang masing-masing sudah-sudah mengalokasikan 5,6 %; 5,2 %; 3,0 % dan 4,1 % dari nilai GNP mereka untuk mengembangkan sektor pendidikan (Supriyoko, 2001). Tak heran bila perkembangan pendidikan di Indonesia terus tertinggal di belakang negara-negara yang lain. Masalah utamanya terletak pada masalah political will yang rendah, di samping memang kondisi anggaran yang terus menerus mengalami defisit.

Implikasi lebih lanjut dari penurunan kemampuan pemerintah untuk membiayai pendidikan ini adalah adanya pengalihan beban finansial ini pada lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk otonomi penyelenggaraan pendidikan di masing-masing lembaga, yang terutama tampak pada perubahan status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Otonomi ini tentu saja tidak hanya menyangkut pelimpahan wewenang pengelolaan lembaga, namun juga pelimpahan sebagian beban keuangan yang selama ini disubsidi pemerintah.

Alasan yang diajukan pemerintah cukup logis, dan merupakan alasan klise dalam setiap kebijakan pengurangan subsidi oleh pemerintah. Pengurangan subsidi terhadap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) selain karena penurunan kemampuan keuangan pemerintah, juga dilakukan agar pemerintah tidak mensubsidi kelompok yang kaya (the have) yang sebenarnya mampu untuk membiayai pendidikannya secara mandiri. Selain itu, studi ekonomi pendidikan di Amerika Latin menunjukkan bahwa semakin besar anggara pemerintah yang dialokasikan untuk pendidikan tinggi, akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dan kesenjangan tingkat pendapatan (Ikhsan, 2000). Hanya saja, masalah yang muncul adalah bagaimana agar pemerintah bisa menyalurkan subsidi secara selektif, tanpa ada kekhawatiran kebocoran dan misalokasi subsidi bagi kelompok yang miskin secara finansial namun kaya secara intelektual. Di sinilah kita sekali lagi berhadapan dengan pendataan yang seringkali kurang akurat dan terlambat yang seringkali terjadi di negara yang belum maju seperti Indonesia (Arsyad, 2002).

Fenomena kedua, adalah fenomena peningkatan biaya masuk sekolah yang akhir-akhir ini dikeluhkan oleh sebagian wali murid. Berbeda dengan fenomena yang pertama yang banyak dikeluhkan oleh kalangan mahasiswa perguruan tinggi, fenomena yang kedua ini banyak terjadi di sekolah-sekolah tingkat menengah. Hal ini menyusul penerapan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) yang memberikan kesempatan pada pihak sekolah untuk melakukan semua kebijakan yang dianggap perlu untuk meningkatkan mutu sekolahnya, tentu saja setelah berkonsultasi dengan Komite Sekolah. Dengan alasan inilah, setiap sekolah kemudian seakan berlomba untuk menetapkan biaya masuk sekolah yang cukup besar pada setiap calon murid baru.

Walaupun belum ada studi yang jelas dan akurat tentang berapa banyak wali murid yang diberatkan oleh beban biaya masuk sekolah yang tinggi ini, namun yang jelas peningkatan biaya ini menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan pertama terkait dengan proses pengambilan keputusan untuk menaikkan biaya pendidikan. Hingga saat ini belum ada studi yang cukup baik untuk menunjukkan peran representativitas (representativeness) serta partisipasi efektif komite sekolah dalam pengambilan keputusan. Lepas dari urusan demokratis tidaknya proses pemilihan komite sekolah, peran dan partisipasi komite ini dalam penyelenggaraan pendidikan sampai saat ini perlu diragukan efektivitasnya. Terdapat kecenderungan bahwa komite sekolah banyak yang kurang mengerti tentang tugas dan tanggungjawab yang diembannya, sehingga tidak secara efektif mempengaruhi pelaksanaan pendidikan dalam lembaganya. Disini ada permasalahan kekurangpedulian di satu sisi, dan kekurangmengertian di sisi lain, sehingga aspek keterwakilan komite sekolah seringkali hanya merupakan formalitas dan status yang tidak bermanfaat nyata bagi perkembangan mutu sekolah secara utuh.

Fenomena yang ketiga adalah maraknya lembaga bimbingan yang menawarkan layanan pendidikan (atau persisnya, pengajaran) dengan orientasi yang betul-betul market-oriented. Dalam banyak hal, lembaga bimbingan ini bahkan menjadi pesaing sekolah dalam hal kualitas, walaupun belum menjadi pesaing dalam hal formalitas karena kewenangan memberikan ijazah resmi tentang pendidikan (Nasution, 2000). Sebagai sebuah lembaga berorientasi pasar, lembaga-lembaga bimbingan ini telah menetapkan target pasar tertentu. Beberapa di antara mereka bahkan dianggap mampu menerapkan strategi pemasaran yang cukup baik sehingga menangguk untung yang cukup besar secara finansial.

Maraknya lembaga pendidikan ini paling tidak dipicu oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah kurang efektifnya pelaksanaan pengajaran di sekolah. Tentu saja ada banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas pengajaran di sebuah sekolah, termasuk di antaranya adalah faktor heterogenitas siswa yang menyebabkan sulitnya untuk melakukan penyeragaman metode mengajar –dan bahkan keseragaman materi pembelajaran. Para siswa di lembaga bimbingan pada umumnya memiliki karakter yang lebih homogen, baik secara mental (well motivated), ekonomi (well financed) maupun secara intelektual (well educated).

Faktor kedua yang mendorong maraknya lembaga bimbingan adalah kecenderungan kognitivasi berlebihan dalam dunia pendidikan. Kognitivasi dimaksud adalah penekanan keberhasilan pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek kognitif. Kognitivasi ini kemudian berimplikasi secara luas pada proses dan prosedur evaluasi pendidikan yang dilakukan. Sifat evaluasi kemudian bersifat satu dimensi (mono-dimentional). Dalam bahasa yang mudah, kesuksesan sekolah dinilai dari sisi akademik semata, dan sisi akademik ini dinilai melalui proses evaluasi yang seragam. Sebutlah misalnya pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) yang akhir-akhir ini banyak dikritik, karena menggantungkan kelulusan siswa dari sekolah pada aspek akademik belaka yang penilaiannya hanya didasarkan pada evaluasi kognitif yang disimpulkan dan disederhanakan pada sebuah ujian selama 120 menit, daripada penilaian terhadap keseluruhan proses. UAN kemudian menjadi sebuah orientasi umum lembaga pendidikan, dan di sinilah lembaga bimbingan mengembangkan sistem pengajaran mereka. Tujuan pengajaran dalam lembaga pendidikan adalah mengajarkan bagaimana siswa bisa menjawab soal-soal dalam ujian secara cepat dan tepat. Dalam hal ini, harus diakui bahwa lembaga bimbingan ini –karena beragam faktor, memiliki keberhasilan yang lebih baik dibanding lembaga pendidikan formal. Jika tujuan pendidikan tak lain tak bukan hanyalah kemampuan menjawab soal dalam ujuan, tak salah bila mendiang Prof. Andi Hakim Nasution (2001) pernah mengeluarkan sebuah sindiran pedas pada sekolah formal dengan menulis sebuah artikel dengan judul yang sangat pedas : Tutup Sekolah Formal, Gantikan dengan Bimbel !.

Tiga fenomena inilah yang menjadi pemicu dari maraknya wacana tentang komersialisasi pendidikan. Dua yang pertama mempermasalahkan tingginya biaya pendidikan pada lembaga pendidikan formal yang secara ideal memang bukan sebuah lembaga bisnis, sedangkan yang terakhir berkaitan dengan bisnis pendidikan yang memang pada awalnya memiliki target-target bisnis dalam pelaksanaannya. Dua fenomena yang pertama memiliki sifat yang lebih penting, karena berkaitan dengan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan dan juga berkaitan dengan kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Fenomena yang terakhir lebih terkait dengan bisnis swasta dalam skala yang terbatas. Hubungannya dengan sekolah formal lebih pada peningkatan daya saing dan kemampuan mengajar pada sekolah-sekolah formal, agar tak muncul guyonan bahwa yang membuat sekolah formal masih bertahan hingga saat ini hanyalah karena ia memiliki wewenang mengeluarkan ijazah, dan bukan karena ia benar-benar dibutuhkan dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan.  

DUA JENIS KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Dalam mengamati komersialisasi pendidikan, adalah penting untuk membuat sebuah pembedaan antara berbagai jenis komersialisasi pendidikan, terutama dalam jenjang sekolah formal. Prof. Muchtar Buchori (1998) menyebutkan dua jenis komersialisasi dalam dunia pendidikan. Yang pertama adalah komersialisasi yang "membunuh" idealisme pendidikan, dan yang kedua adalah jenis komersialisasi yang "tidak membunuh" idealisme pendidikan. Pembedaan ini menjadi penting karena dalam prakteknya, komersialisasi pendidikan memiliki pola dan tujuan yang beragam. Generalisasi yang berlebihan tentu saja tidak perlu, karena hal tersebut bertentangan dengan oibyektivitas yang diinginkan.

Komesialisasi yang pertama muncul ketika sebuah lembaga pendidikan di tingkat dan jenjang apapun sejak SD hingga S3 melakukan hanya mementingkan penarikan uang pendidikan semata, dengan tidak memperhatikan kualitas lulusan, serta praksis-praksis pendidikan yang ideal. Di sini, pendidikan ditujukan untuk mendapatkan uang semata, dengan mengabaikan tujuan pedagogis yang sebenarnya ingin dicapai.

Dalam konteks komersialisasi jenis pertama inilah kita melihat bahwa fenomena jual beli gelar yang sekarang marak terjadi, ataupun penarikan biaya pendidikan yang semakin tinggi tanpa ada dampak yang jelas terhadap peningkatan mutu pendidikan merupakan sesuatu yang tidak saja inefisien dan inefektif, namun perlahan namun pasti akan membunuh pendidikan. Idealnya, pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas manusia, baik secara fisik, moral maupun intelektual akhirnya direduksi menjadi seperti proses bisnis pada dunia industri an sich dengan ukuran kesuksesan yang hanya bersifat material semata. Apabila fenomena komersialisasi semacam ini tidak mendapat perhatian, maka sekolah ataupun perguruan tinggi tak lebih dari sekedar sebuah perusahaan penjual ijazah formal, tanpa substansi yang berarti. Kualitas pendidikan akan semakin merosot, dan intelektualitas adalah sederet gelar akademis yang bisa dibeli dan diperjualbelikan. Alih-alih membentuk kehidupan bangsa yang cerdas, pendidikan yang dikomersilkan dengan cara seperti ini hanya akan mengabdi pada pembodohan massal dan penipuan pada diri sendiri.

Komersialisasi jenis kedua adalah komersialisasi yang tidak akan membunuh idealisme pendidikan. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan mencari uang untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran, karena sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan pendidikan memerlukan dana yang besar, sesuai dengan skala yang dikelola. Menurut J. Drost (1998,220), dana pendidikan yang besar paling tidak diperlukan untuk menunjang tiga hal yang merupakan syarat berlangsungnya pendidikan, yaitu : penyediaan tempat belajar yang memadai, penyediaan sarana dan prasarana dan perbaikan kualitas staf pengajar.

Penyediaan tempat belajar adalah satu hal yang niscaya, karena tidak mungkin murid akan berpindah tempat belajar secara terus menerus. Penyediaan tempat belajar ini tentu saja membutuhkan pembangunan gedung atau bangunan, dan juga pemeliharaannya. Kedua hal ini jelas membutuhkan uang.

Kebutuhan kedua adalah penyediaan sarana prasarana belajar yang memadai. Perpustakaan, laboratorium, buku pegangan pelajaran, komputer adalah sarana prasarana yang semestinya disediakan dengan baik untuk menunjang proses pembelajaran. Untuk itu, sebuah lembaga pendidikan memerlukan dana yang tidak sedikit untuk pengadaan, pengaturan dan pemeliharaannya. Apabila faktor penyediaan sarana prasarana ini tidak memadai, maka dapat dipastikan bahwa kualitas pembelajaran yang berlangsung akan tidak terlalu baik.

Faktor sarana prasarana inilah yang menjadi salah satu penyebab ketertinggalan pendidikan di Indonesia. Untuk kemampuan melek teknologi misalnya, bila di negara seperti Singapura setiap siswa setingkat SD pada umumnya telah mengenal internet karena di setiap sekolah disediakan secara mudah, maka Indonesia belum mampu melaksanakan hal ini karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh lembaga pendidikan. Oleh karena itu, merupakan sebuah keharusan untuk mempertimbangkan berbagai cara yang mungkin untuk mempebaiki ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai di tiap sekolah, termasuk di antaranya dengan menaikkan biaya pendidikan.

Kebutuhan kedua merupakan syarat mutlak terjadinya pembelajaran yang efektif. Staf pengajar atau guru yang berkualitas adalah sebuah syarat mutlak pembelajaran yang berkualitas. Peningkatan kualitas guru ini mengimplikasikan sebuah semangat dan etos bahwa setiap guru dianjurkan untuk terus menerus meningkatkan kualitas, kemampuan dan profesionalitasnya. Untuk terus meningkatkan kualitasnya inilah seorang guru dianjurkan untuk terus belajar, baik tentang materi pelajarannya ataupun tentang metode pengajaran yang efektif. Seorang guru misalnya, perlu untuk berlangganan koran atau jurnal-jurnal ilmiah, dan semua ini memerlukan dana. Untuk itu, faktor kesejahteraan guru menjadi penting untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan guru untuk meningkatkan diri.

Apabila sebuah lembaga pendidikan menetapkan biaya pendidikan yang mahal untuk tujuan perbaikan mutu pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas, maka hal semacam ini tentu tak pantas disebut sebagai sebuah komersialisasi pendidikan dalam konotasi yang negatif. Komersialisasi jenis ini bahkan akan mengangkat kembali kualitas pendidikan yang selama ini terpuruk karena minimnya dana yang dialokasikan pemerintah untuk pendidikan. Apabila upaya ini berhasil, maka paling tidak ada dua keberhasilan yang telah dicapai oleh dunia pendidikan formal. Keberhasilan pertama adalah keberhasilan meningkatkan kualitas proses pengajaran di kelas formal, dan yang kedua adalah keberhasilan untuk menjadikan lembaga relatif lebih independen terhadap faktor bantuan pemerintah. Hal yang kedua ini menjadi esensial karena kemampuan pemerintah untuk membiayai pendidikan dan memenuhi amant konstitusi untuk mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan hampir pasti tak akan bisa dicapai, mungkin hingga 10 tahun ke depan karena sebagian besar dana APBN habis untuk membayar hutang.

Bertolak dari pola pikir tersebut, adalah penting untuk mengidentifikasi jenis komersialisasi apa yang sekarang sedang berlangsung di Indonesia pada umumnya, atau di daerah paad khususnya. Apabila yang berlangsung adalah komersialisasi jenis pertama, maka hal ini akan memiliki implikasi destruktif terhadap idealisme pendidikan. Sedangkan apabila yang terjadi adalah komersialisasi jenis kedua, maka hal itu malah menunjukkan gejala kebangkitan dunia pendidikan. Identifikasi ini harus dilakukan oleh instansi pemerintah (terkhusus Departemen Pendidikan Nasional dan Bidang Mapenda Departemen Agama), komite sekolah dan masyarakat secara luas agar pelaksanaan perbaikan mutu pendidikan ini mendapat monitoring, evaluasi dan perbaikan yangmemadai. Maka dalam hal ini yang paling penting adalah upaya mengembangkan dan mengimplementasikan indikator penilaian terhadap efektivitas penggunaan dana sekolah yang didapat dari peningkatan biaya pendidikan tersebut, juga mengukur keberhasilannya dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Jadi, ada dua indikator yang harus dibuat oleh pihak penilai, yaitu indikator penggunaan dana, yang mencakup transparansi dan akuntabilitas manajemen keuangan dan indikator peningkatan mutu, yang mencakup peningkatan kualitas mutu siswa dan proses pembelajaran yang terjadi di sekolah.

MEMBERI PELUANG BAGI YANG MISKIN : MANAJEMEN EKSES

Kenaikan biaya pendidikan yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan image yang kurang baik bagi dunia pendidikan, sehingga istilah komersialisasi memiliki konotasi yang sangat negatif. Benny Susetyo dalam kolomnya di Jawa Pos (24 Agustus 2004) bahkan menyebut bahwa dengan kebijakan peningkatan biaya pendidikan yang dilakukan oleh sejumlah PTN favorit, maka berarti orang miskin di Indonesia dilarang sekolah. Berbagai komentar miring dan tanggapan negatif juga bermunculan di banyak media massa. Walaupun pihak PTN menyatakan bahwa peningkatan biaya pendidikan ini adalah untuk peningkatan mutu, namun banyak pihak meragukan efektivitasnya dalam peningkatan mutu pendidikan. Hal yang sama terjadi pada sekolah menengah. Kebijakan menaikkan biaya masuk dan biaya pangkal di beberapa sekolah negeri menjadi pangkal timbulnya kritik pedas dari berbagai kalangan.

Kritik terhadap kebijakan menaikkan biaya pendidikan ini harus ditanggapi secara positif. Munculnya kritik semacam ini menunjukkan bahwa kebijakan komersialisasi pendidikan bahkan jika ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan sangat potensial memicu kontroversi. Di satu sisi, ia akan meningkatkan kemampuan keuangan sekolah uintuk melakukakan langkah-langkah peningkatan mutu, namun di sisi lain ia merupakan mekanisme seleksi yang diskrimintif terhadap warga negara yang ingin menjalani proses pendidikan namun terhambat oleh kemampuan ekonomi yang terbatas.

Dalam konteks ini, adalah penting bagi sekolah yang melakukan kebijakan peningkatan biaya pendidikan untuk melaksanakan beberapa hal. Hal ini harus didukung oleh adanya pengawasan dan keterlibatan dari instansi pemerintah, terutama pengawas pendidikan dan masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak kebijakan. Langkah pertama adalah melakukan perbaikan manajemen keuangan, sehingga masalah yang terkait dengan keuangan terlaksana secara jujur dan transparan. Hal ini untuk mencegah adanya tuduhan dan gossip penyalahgunaan dana masyarakat yang diakui atau tidak sering muncul dalam setiap proyek pendidikan. Kedua, membuktikan efektivitas peningkatan biaya pendidikan terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dengan melihat adanya perbaikan mutu –terutama dari aspek kualitas anak didik, maka sekolah telah membuktikan bahwa peningkatan biaya pendidikan yang mereka lakukan adalah untuk kemajuan siswa itu sendiri, yang secara otomatis akan berdampak pada kemajuan sekolah.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah mengatasi ekses atau efek samping dari kebijakan peningkatan biaya pendidikan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, biaya pendidikan yang tinggi akan sangat sulit untuk dijangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dalam hal ini, adalah penting bagi sekolah –dan terutama pemegang kebijakan pendidikan, untuk memikirkan cara mempermudah akses masyarakat kelompok ini pada pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan bakat dan inteletualitas yang mereka miliki. Pada masyarakat kelompok ini, kebijakan subsidi sangatlah tepat sasaran. Yang menjadi permasalahan utama dalam hal ini, adalah bagaimana untuk mendapatkan database yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan validitasnya tentang kondisi ekonomi seorang calon siswa.

Apabila kita melihat pada penerapan sistem jaminan sosial (mencakup jaminan terhadap kalangan tidak mampu dalam hal kebutuhan pokok, termasuk pendidikan dan kesehatan) di negara-negara yang sudah maju, terlihat bahwa sistem jaminan sosial terbut didasarkan pada data yang valid. Di Indonesia, data fakir miskin, anak yatim dan anak terlantar dan mereka yang dalam pasal 34 UUD 1945 dikatakan akan dibantu oleh negara belum tersedia secara lengkap. Kalaupun ada, data yang tersedia seringkali kurang valid sehingga kemungkinan penyaluran dana yang tidak tepat sasaran dapat terjadi.

Dalam hal ini, pihak Departemen Pendidikan Nasional perlu mengadakan kerjasama dengan instansi-instansi yang seperti BPS, dan pemerintah daerah untuk mendapatkan data orang miskin yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan indikator-indikator yang terukur. Setelah ada data, selanjutnya dapat dipikirkan bagaimana membuat sebuah kebijakan diskriminatif yang adil bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Sekolah sebagai ujung tombak pendidikan juga harus pro aktif memikirkan cara agar mereka yang memiliki kemauan untuk menuntut ilmu namun dihambat oleh kemampuan ekonomi yang terbatas dapat terus menjalani proses pendidikan. Terus terang, walaupun hal ini terlihat mudah, namun melaksanakannya seribu kali lebih sulit daripada sekedar mengatakannya.

Penutup : Refleksi

Istilah komersialisasi pendidikan dapat dipergunakan untuk mengacu pada dua hal yang berbeda. Istilah ini dapat merujuk pada sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki program dan sarana prasarana yang baik, dan ditunjang dengan biaya pendidikan yang mahal. Biaya pendidikan yang mahal ini menyebabkan sekolah-sekolah ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan kaya yang mampu secara ekonomi, jika dan hanya jika tidak ada kebijakan diskriminatif yang adil. Istilah komersialisasi pendidikan juga bisa mengacu pada sekolah yang hanya mementingkan penarikan biaya pendidikan seperti uang sekolah dan uang kuliah yang tinggi, namun tak memperhatikan peningkatan mutu proses pendidikan yang berlangsung.

Bentuk komersialisasi yang pertama didasarkan pada kebutuhan obyektif lembaga untuk mengembangkan sebuah proses pendidikan yang berkualitas, sedangkan yang kedua didasarkan pada nafsu serakah para pengelola pendidikan. Tentu saja dua jenis komersialisasi ini harus disikapi secara berbeda, karena yang satu timbul dari kepedulian terhadap pendidikan, sedangkan yang lain berawal dari ketidakpedulian pada pendidikan.

 

Sumenep, 24 November 2004

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jember dan Pascasarjana Tarbiyah Universitas Islam Malang. Sekarang mengajar di beberapa MA di Sumenep.

 

DAFTAR BACAAN

Arsyad, Lincolin. 2003. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : AMP YKPN

Bukhori, Muchtar. 1998. Komersialisasi Idealisme Bukan Tabu, dalam Jurnal Kebudayaan Basis nomor 01-02 Tahun ke 47 Januari-Februari 1998.

Nasution, Andi Hakim. 2001. Tutup Sekolah Formal Gantikan dengan Bimbel, dalam Gatra edisi 30 Juni 2001.

Drost, J.I.G.M. 1998. Sekolah : Mengajar atau Mendidik ?. Yogyakarta : Kanisius.

Ikhsan, Moh. 2000. Pembiayaan Pendidikan, dalam Panji edisi 20 September 2000.

Susetyo Pr., Benny. 2004. Orang Miskin dilarang Sekolah, dalam Jawa Pos 24 Agustus 2004.

Supriyoko, Ki. 2001. Quo Vadis Pendidikan Nasional, dalam Panji edisi 9 Mei 2001.

Wijdan, Aden. 2004. Tragedi Pendidikan Mahal, dalam Jawa Pos 9 Agustus 2004.

 

 Back To Daftar Isi

PENDINDIKAN MAHAL: SEBUAH FENOMENA PERSEPSI MASYARAKAT

SUPARJI

 

Tahun ajaran baru 2004-2005 bagi dunia pendidikan, barangkali merupakan sebuah era baru bagi masyarakat pendidikan kita, terutama tentang persepsi masyarakat pada dunia pendidikan khususnya masalah biaya. Masyarakat banyak meneriakkan bahwa biaya pendidikan mahal, baik pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi.

Pada pendidikan tinggi, dengan adanya kebijakan pemerintah yang akan menjadikan perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) maka kecenderungan menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat sangat tinggi. Konsep BHMN yang notabene akan menghapuskan subsidi pemerintah secara bertahap maka suatu saat jadilah BHMN ini menjadi perguruan tinggi swasta. Pelaksanaan BHMN ini telah dibatasi waktu untuk diterapkan paling akhir pada tahun 2020. Pada tahun 2020 semua perguruan tinggi harus sudah berubah menjadi BHMN. Pada tahun 2004 ini sebagai ujicoba ada empat perguruan tinggi yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Pada tahap ujicoba saja, dana yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk masuk ke perguruan tinggi ini cukup tinggi, bagaimana jika BHMN ini telah benar-benar diterapkan penuh, nanti tahun 2020.

Pada pendidikan dasar dan menengah juga terjadi keluhan-keluhan masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Keluhan-keluhan masyarakat ini tidak hanya besarnya sumbangan pembangunan tetapi juga biaya operasional sehari-hari, misalnya biaya pembelian buku, pembelian Lembaran Kerja Siswa (LKS) dan biaya-biaya ekstra lainnya. Bukan hal yang aneh lagi apabila guru menerima keuntungan dari penjualan buku maupun LKS pada setiap akhir semester, berapapun besarnya, hal tersebut telah menjadikan beban yang lebih berat bagi siswa dalam membeli buku.

Dimanakah letak mahalnya pendidikan ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui kondisi pendidikan kita terutama jumlah sumbangan uang pembangunan. Kondisi ini sangat jauh berbeda jika kita bandingan antara kondisi pendidikan di perkotaan, pinggiran maupun pedesaan. Kita ambil contoh di Surabaya, di sekolah dasar yang tergolong tidak favorit, uang pembangunan sudah mencapai Rp. 1 juta, sedangkan di Sumenep, sekolah paling favorit, uang sumbangannya “hanya” seratus ribu rupiah. Jika kita bandingkan lagi jumlah uang yang harus dibayarkan untuk SPP, sekolah dasar perkotaan bisa Rp 10.000-Rp. 50.000 bahkan bisa lebih, sedangkan di daerah, sekolah paling favorit hanya Rp. 4.000,-.

Dalam penelitiannya di 40 sekolah dasar di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Tangerang, Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) menilai sekolah-sekolah tersebut sudah semakin tak terjangkau oleh masyarakat biasa. Dari 40 sekolah yang diamati ada salah satu sekolah yang memungut uang pangkal hingga Rp. 27,5 juta per anak. Ada juga sekolah yang mengenakan SPP mencapai Rp. 1 juta per bulan. Setelah dihitung dengan berbagai pembayaran lainnya, ada sekolah yang mengenakan biaya besarnya hingga Rp. 301.637.500 untuk kebutuhan anak selama menyelesaikan enam tahun di sekolah dasar (Republika, 6 Oktober 2004). Secara rata-rata dari 40 sekolah yang diamati, kebutuhan biaya siswa untuk menyelesaikan sekolah dasar selama enam tahun, diperoleh angka Rp. 30.971.851. “Sebuah hitungan rupiah yang tidak kecil untuk ukuran menyelesaikan sekolah dasar di Jakarta”.

Dari kondisi di atas lalu dimanakah letak nilai kemahalan pendidikan. Nilai sebuah kemahalan adalah sebuah nilai yang relatif. Kerelatifan nilai ini sangat tergantung dari kemampuan masyarakat untuk membayarnya. Satu sisi merasa mahal tetapi di pihak lain tidak merasa bahwa biaya pendidikan itu mahal. Kalau kita lihat akar masalahnya, ada kelompok orang ingin pendidikan berkualitas. Kelompok ini tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk memperolehnya. Inilah yang dikerjar oleh lembaga pendidikan swasta. Masalahnya tidak banyak orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan semacam itu. Pangkal masalahnya adalah klasik yaitu biaya. Tapi bagi orang tua dengan kemampuan ekonomi yang kuat, perkara biaya bukan hambatan. Memang harus diakui bahwa pendidikan berkualitas memerlukan biaya yang besar.

Selain dari sisi sosial ekonomi, nilai kemahalan sebenarnya ditentukan pula oleh transparansi. Nilai transparansi ini sangat tinggi, sehingga sangat menentukan keberhasilan pendidikan dalam mengelola dana masyarakat. Besarnya nilai yang dikeluarkan oleh orang tua siswa harus sesuai dengan apa yang diterima siswa dalam pendidikan. Jika sekolah-sekolah swasta memberlakukan biaya-biaya tersebut, seluruhnya ditanggung oleh orang tua, hal tersebut adalah sebuah kewajaran karena sumber dana yang dimiliki barangkali hanya dari satu sumber itu. Tetapi bagaimanakah dengan sekolah-sekolah negeri yang selain mendapat subsidi dari pemerintah juga masih menarik dana dari masyarakat ? Hal tersebut disebabkan karena dana dari pemerintah dirasa sangat kurang sehingga masyarakat diminta sumbangan untuk ikut membantu pembiayaan pendidikan. Karena adanya dua sumber dana tersebutlah sehingga sekolah perlu transparansi dalam mengelola dana yang diperoleh baik dari pemerintah maupun dana sumbangan masyarakat.

Pemerintah harus seperti apa ?

Dalam UUD RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa dalam pelaksanaannya harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi, manajemen pendidikan dalam menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Jadi jelas disini bahwa pemerintah dalam kasus ‘mahalnya biaya pendidikan’ harus mampu berfungsi sebagai filter untuk memonitor sejauhmana biaya tersebut terasa mahal bagi masyarakat sehingga konsep pemerataan yang dibebankan pada pemerataan dapat dijalankan dengan baik. Pemerintah harus selalu mengoreksi, mengawasi dan mengevaluasi setiap biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyaraakat.

Dalam kaitan pendidikan ini, Depdiknas selaku instansi yang secara langsung menangani pendidikan harus mampu bertindak sebagai penengah antara pelaksana pendidikan (guru dan kepala sekolah) dengan masyarakat. Sebagai penyeimbang dalam pengambilan kebijakan, Depdiknas harus bekerja sama dengan dewan pendidikan dan di tingkat sekolah fungsi komite harus berjalan seperti yang diharapkan. Dengan kemitraan itulah maka persepsi ‘mahalnya biaya pendidikan’ dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya.

Masyarakat harus bagaimana ?

Masyarakat harus mulai menyadari bahwa perkembangan pendidikan menuntut selalu menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar daerah/luar negeri. Hal ini disebabkan karena era globalisasi akan segera datang, dengan begitu tidak ada lagi batasan negara dalam persaingan mendapatkan pekerjaan. Masyarakat harus mulai menyadari bahwa tuntutan lulusan akan semakin tinggi, hal ini tentunya membawa implikasi membengkaknya biaya pendidikan. Jika sudah demikian maka beban pemerintah akan semakin berat dan tidak mungkin ini seluruhnya dibebankan pada pemerintah.

Salah satu yang bisa diharapkan dapat membantu kondisi ini adalah masyarakat. Masyarakat harus mulai sadar akan beratnya beban pemerintah. Lewat komite sekolah dan dewan pendidikan diharapkan dapat konsisten membangun kemitraan dengan sekolah/dinas pendidikan, sehingga mampu memecahkan masalah-masalah pendidikan terutama biaya pendidikan yang akhir-akhir ini dirasakan masyarakat sangat mahal dan implikasinya, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.

PENUTUP

Beberapa hal yang dapat kita renungkan dari uraian di atas adalah bahwa Depdiknas harus mampu menjadi penengah bagi mahalnya biaya pendidikan bekerjasama dengan dewan pendidikan. Sekolah bersama dengan komite sekolah harus selalu mengutamakan transparansi dalam penggunaan dana masyarakat maupun dana pemerintah.

Suparji, adalah dosen FT UNESA dan anggota Dewan Pendidikan Sumenep.

 

 

 

 

 Back To Daftar Isi

Mengkritisi Pendidikan Mahal

Oleh : Farid Mashudi

 

Belum reda persoalan pro dan kontra tentang sisdiknas , kembali wajah pendidikan kita disorot. Kali ini mengenai mahalnya biaya pendidikan masuk perguruan tinggi , yang belakangan disusul pendidikan strata dibawahnya ikut – ikutan naik pula. Persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir dari tahun ke tahun saat tahun ajaran baru dimulai. Tapi persoalan mahalnya biaya pendidikan yang timbul tidak bisa disebut persoalan yang remeh , karena hal ini menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang mengapa dalam beberapa tahun terakhir ini biaya pendidikan kita mengalami lompatan yang sangat jauh dibandingkan tahun – tahun sebelumnya ?

Adalah sejak tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara ( BHMN ) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri ( PTN ) di Indonesia. PTN yang dimaksud adalah ITB, IPB, UI dan UGM. Keempat PTN ini adalah PT yang paling diminati oleh calon mahasiswa baru. Maka tidak heran kalau kemudian keempat PT ini menjadi incaran mahasiswa. Dan agaknya pula dengan status BHMN menjadi suatu hal yang membanggakan dan meningkatkan gengsi bagi perguruan tinggi ini.

Sejak berstatus BHMN keempat PT ini menjadi semakin mandiri saja. Karena subsidi yang sebelumnya mereka terima dari pemerintah dicabut. Ada semacam justifikasi diri bagi masing – masing PT ini untuk secara bebas mencari dana bagi biaya operasionalnya. Dari sinilah sebenarnya “bencana” tingginya belajar di PT dimulai. Mengapa ? Bagi pihak PTN status BHMN sebenarnya menguntungkan dengan alasan, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu diperlukan biaya besar dan mahal. Dengan demikian tunjangan insentif para dosen dan karyawan akan ditingkatkan. Maka persoalannya sekarang adalah bukan pada biaya pendidikan harus mahal , tetapi gaji guru dan karyawan harus tinggi.

Demikian juga yang terjadi dengan jenjang pendidikan di SD maupun sekolah lanjutan disinyalir mengalami hal yang sama dengan PT. Fenomena ini juga menjadi keprihatinan Prof. Dr. Winarno Surakhmad , seorang tokoh pendidikan dan anggota komisi VI DPR Ferdiansyah, mereka prihatin karena “melangitnya” biaya masuk SD hingga SLTA sudah merambah ke semua wilayah tanah air , dari kabupaten hingga kota – kota besar. Ironisnya , ternyata sekolah yang mematok biaya mahal banyak sekolah – sekolah negeri. Yang nyata – nyata bersubsidi.

Baik Winarno maupun Ferdiansyah, menilai fenomena tersebut muncul karena kesalahkaprahan menjabarkan otonomi sekolah. Pengelola sekolah dan komite sekolah telah terjebak pada paham kapitalisme untuk mengeksploitasi minat orang tua dalam menyekolahkan putra putrinya. Situasi tersebut diperparah oleh persepsi guru dan kepala sekolah bahwa pendidikan yang bagus harus mahal.

Bagi kalangan masyarakat tertentu , yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah , tentu saja mahalnya biaya pendidikan saat ini menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak , mahalnya biaya pendidikan saat ini telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kalaulah alasannya pendidikan yang bermutu itu harus mahal. Alasan ini hanya berlaku pada negara yang mengaku kaya akan sumber alam ini. Karena di Jerman, Prancis , Belanda dan negara – negara berkembang lainnya , menurut para ahli pendidikan , juga banyak memiliki sekolah – sekolah yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah , bahkan ada yang digratiskan. Tapi mengapa di Indonesia tidak ? Maka asumsi bahwa pendidikan yang bermutu harus mahal , hanya terjadi di indonesia. Ini dalam artian yang sebenarnya. Maksudnya pendidikan saja yang mahal tapi masih jauh dari mutu.

Setuju atau tidak dengan istilah itu , namun kenyataannya tidak jauh berbeda dengan istilah yang dimaksud. Lihat saja bagaimana giatnya sekolah – sekolah yang mengklaim sebagai sekolah – sekolah menengah favorit di daerah ini di dalam mencari dana. Ada yang mematok biaya pembangunan plus macam – macam biaya yang menyertainya yang mendekati angka satu juta rupiah ( sebuah angka yang spektakuler untuk daerah pinggiran seperti sumenep ). Apakah kualitas pengajaran yang disajikan meningkat ? Ternyata tidak , tetap saja banyak guru – gurunya yang malas. Kelas tidak terkontrol sehingga sangat ramai , disiplinnya rendah. Bangunan yang ada juga kumuh , menunjukkan bahwa sekolah tersebut sudah lama tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Lalu kemana uang ratusan juta rupiah hasil sumbangan dari orang tua siswa tersebut. Kebanyakan diwujutkan dalam bentuk bangunan baru atau rehab bangunan lama yang sebenarnya kurang begitu punya nilai manfaat bagi pengembangan proses belajar anak. Memang sudah menjadi sifat orang orang kita , senang membangun tetapi kurang bisa memelihara bangunan yang sudah ada tersebut. Akibatnya kita melihat bangunan yang pada awalnya sangat megah beberapa tahun kemudian tidak terurus.

Sofyan Effendi (rektor UGM), menulis di KOMPAS ( 24/6/2003 ) bahwa ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia. Pertama krisis mutu. Kedua krisis pembiayaan. Untuk menghadapi globalisasi pendidikan yang sudah merambah ke Indonesia. Dunia pendidikan harus melakukan tugas pokok. Pertama , meningkatkan kualitas. Kedua menjaga pemerataan akses tetap terjaga. Untuk mencapai kedua hal tersebut menurut Sofyan diperlukan biaya besar. Inilah mungkin yang menjadi penyebab perguruan tingginya menerapkan kebijakan yang sangat kontroversial dalam mencari dana mulai membuka jalur khusus sampai membangun Mal untuk mendukung biaya operasional PT-nya. Namun pertanyaan yang timbul adalah: Mengapa harus mengorbankan keadilan untuk mendapatkan pendidikan bermutu bagi masyarakat ? kalau harus demikian apa bedanya pendidikan negeri dan swasta ? Kalaulah kebijakannya yang berlaku seperti pada saat ini , maka dunia pendidikan kita telah menjalankan program “ Yang kaya sekolah dan kuliah , Yang miskin dan ekonominya rendah , pengangguran saja”. Dan orang – orang yang mempunyai pendapat seperti Sofyan Effendi cukup banyak diantara kita.

Sungguh ironis memang , para akademisi dan praktisi pendidikan yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan , apabila berhadapan dengan uang sikap kritisnya menjadi hilang. Betapa tidak , karena rata – rata para akademisi dan praktisi pendidikan memperjuangkan cara mereka dalam menggulirkan roda pendidikan mahal. Masyarakat telah dibelenggu dengan pendidikan yang berbiaya tinggi. Padahal sikap yang diharapkan pada orang – orang itu dalam menyikapi persoalan ini sebaliknya. Yaitu , mereka seharusnya mampu mengontrol dan menjadi representatif dalam pencegahan terjadinya “industrialisasi” dan “komersialisasi pendidikan”.

Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN , tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberalisasi pendidikan , dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar , bahwa masih banyak sektor – sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan – kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian , kebijakan yang dapat mendorong majunya duna pendidikan harus diprioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan kalah saing dari negara – negara berkembang lainnya.

Negara Jerman , Prancis , dan Belanda adalah negara yang juga menghadapi persoalan yang sama dengan negara Indonesia dalam menyikapi liberalisasi dalam sektor sektor publik. Namun di bidang pendidikan mereka tetap memberi subsidi yang memadai.

Dengan memberi hak otonomi pada lembaga pendidikan , menurut pandangan penulis secara tidak langsung ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan , khususnya pada persoalan dana. Akibatnya timbullah pendidikan mahal , maka siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu untuk membebaskan masyarakat dari belenggu pendidikan mahal saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam konteks ini agaknya pemerintah Batam patut dicontoh, karena Pemdanya akan menggratiskan uang pendaftaran ke sekolah negeri , sebagaimana yang dikatakan kepala Dinas Pendidikan kota Batam H. Moaz Ismail SP ( Riau Mandiri 24/6/2003 ). “ Tindakan tegas akan diambil kepada pihak sekolah yang meminta uang pendaftaran kepada calon siswa “. Katanya.

 

 

 Back To Daftar Isi

MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN; SEBUAH PENGINGKARAN

Oleh Hidayat Raharja*

 

/1/

SEKOLAH TELAH TERBAKAR. Padamkan api. …Ah negara, mungkin hanya sebuah dusta bersama. 1)

Dunia pendidikan, impian sekaligus cita-cita di hadapan untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Sebuah ruang pergumulan untuk menyemai cita-cita dan masa depan yang menjanjikan.

Namun jalan sejarah dunia pendidikan (baca; persekolahan) bukanlah garis linier yang bertolak dari satru titik ke ujung penantian. Sejarah dunia pendidikan kita adalah benang panjang yang kusut dari pendidikan kolonial ke pendidikan yang membebaskan.

Jalinan sejarah persekolahan merupakan suatu keanekaragaman, seberagam bangsa yang bernama Indonesia. Perbedaan kondisional yang kemudian mencipatakan lembaga pendidikan yang kondusif. Munculnya lebaga pendidikan dengan pelbagai kualitas dan produk dan selalu berupaya memenuhi standar nasional yang ditetapkan, dengan mengikuti ujian nasional, yang masih diyakini dan dibutuhkan untuk membuat standar mutu secara nasional.

****

Tahun 70-an merupakan awal bangkitnya orde baru yang ditandai dengan memacu pembangunan bidang ekonomi dan digalakkannya pembangunan pendidikan di tingkat sekolah dasar. Gedung sekolah berdiri tegak mulai dari pusat kota sampai ke lelembah di ceruk desa, dan perbukitan. Sekolah menjadii salah satu tumpuan untuk memperbaiki kualitas SDM dan menyejejarkan bangsa Indoensia sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Suatu cita-cita mulia, yang harus dibayar mahal oleh para guru, untuk mencari murid ke berbagadai dusun dan kampung, supaya anak-anak mau sekolah dan gedung sekolah ada muridnya. Suatu kondisi yang kemudian membangun komunikasi intens antara guru dan orangtua murid, untuk bersama-sama memiliki dan merawat sekolah yang ada. Sekolah bagi anak-anak itu tidak lain adalah mengisi kekosongan di antara kesibukan membanrtu kerja orangtua. Dunia persekolahan di desa kecil merupakan suatu lembaga yang santun dan komunikatif dengan lingkungan budaya masyarakatnya.

Sekolah dibangun bersama-sama dengan masyarakat, dan guru menjadi seseorang yang harus mampu berkomunikasi dan melakukan peramn sebagai mediator di antara kepentingan pemerintah dan kemauan masyarakat. Guru berpayah-payah untuk mengajak anak-anak masuk sekolah, untuk memahami dan bisa menghargai sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan mulia untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Sesuatu yang menarik dan bangkit dari kenangan masa silam, ketika sekolah memainkan peranya sebagai minisocity, di antara seminggu ada satu hari yang dipergunakan untuk bekerja bakti, membersihkan lingkungan sekolah, guru dan murid berbaur saling berbagi, membantu, dalam suasasna kekeluargaan yang membetahkan. Sementara penduduk sekitar mengirimkan masakan hasil panen, singkong atau kacang rebus untuk bisa dinikmati bapak/ibu guru yang usai bekerja bakti. Suatu proses pendidikan yang tidak hanya mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga mengembangkan aspek kecakapan social sebagai bekal kelak kembali ke tengah masyarakat. Kemegahan moral lembaga persekolahan yang sulit ditemukan lagi ketika lembaga persekolahan menjadi gedung megah dengan harga, waaahhh!

/2/

Lembaga pendidikan (persekolahan) menjadi sebuah gedung megah, menjanjikan aneka impian untuk meraih masa depan. Suatu awal yang memarjinalisasi anak didik dari lingkungan, karena pendidikan sekolah yang mereka dapatkan tidak dibutuhkan di tempat ia tinggal. Sekolah menjadi sebuah birokrasi dengan pelbagai administrasi sebagai manifestasi manajemen modern yang manuntut adanya suatu kerapian pendataaan dan kepatuhan untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Pendidikan menjadi alat untuk mencapai tujuan politik, yaitu tercapainya kemapanan dan ketentraman dengan harus menyeragamkan keanekaragaman yang ada.

Anak-anak yang ada di pesisir, di ceruk lembah, di atas bukit, dan di tengah keramaiana akoata, mendapatkan konsumsi materi pelajaran yang sama. Apakah materi tersebut dibutuhkan atau tidak? Bukan masalah, pendidikan sekolah telah menetapkan porsi yang harus diterima dan kelak menjadiu prasyarat untuk melanjutkan kepada jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau ketika melamar pekerjaan. Suatu proses pendidikan sekolah, yang memarjinalisasi peserta didik semakin teralineasi dari linbgkungan cultural dan sosialnya. Mereka menjadi asing di tengah-tengah masyarakatnya;

Aku bertanya,

Apakah gunanya pendidikan

Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing

Di tengah kenyataan persoalannya? 2)

Penyeragaman terhadap keanekaragaman bangsa dalam pelaksanaan system pendidikan, tidak banyak memberdayakan peserta didik untuk bisa memaknai hidup dan kehidupannya, sehingga ia menjadi terasing di tanah tempat tembuninya ditanam.

Suatu kegagalan proses pendidikan yang menjadikan persekolahan sebagai sebuah ritual yang memenjarakan anak untuk mematuhi tata tertib yang ada tanpa pernah mengajaknya untuk berpartisipasi dalam mengembangkan aspek kepribadiannya..Suatu konmdisi yang memicu munculnya fenomena alineasi dan protes terhadap sekolah di tanah air kita semakin mengkristal ke permukaan social. Sering terjadinya perkelahian antar pelajar, siswa bolos sekolah, menentang kebijakan guru, sangat munghkin dipicu oleh kemuakan terhadap birokrasi dan formalitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan emosional mereka. 3)

/3/

Lahirnya otonomi pendidikan berimplikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan di daerah, yang memberikan harapan pencerahan terhadap nasib dunia persekolahan dan para penghuninya. Harapan tumbuhnya kembali keanekaragaman yang pernah ditenggelamkan dalam penyeragaman pendidikan yang sarat muatan politis. Otonomi pendidikan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan otonomi sekolah dengan manajemen mutu berbasis sekolah. Sekolah sebagai lem,baga otonom memiliki peluang untuk menentukan diri secara karakteristik sebagaimana yang diinginkan masyarakatnya. Peluang yang dapat dibaca dari kinerja Dewan Pendidikan di daerah dan komite sekolah di setiap satuan pendidikan. Berkah otonomi pendidikan yang sampai saat ini belum dirasakan manfaatnya secara optimal.

Diberlakukannya otonomi pendidikan dan otonomi sekolah merupakan langkah awal untuk membangun dan terciptanya pendidikanyang demokratis, efisien, transparan, dan akuntabilitas. Sebuah tuntutan dari desentralisasi pendidikan yang memberikan peluang bagi daerah untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensi dan kondisi yang memungkinkan.

Dewan Pendidikan di daerah merupakan lembaga strategis untuk turut berperan serta dalam menentukan warna kebijakan pendidikan di daereah. Dewan Pendidikan sebagai lembaga independen memiliki kedudukan yang egaliter dengan kepala Dainas p[endidikan di daerah. Karenanya, untuk memainkan perannya secara maksimal. Dewan Pendidikan harus dipegang oleh mereka yang memiliki perhatian penuh terhadap perkembangan pendidikan di daerah. Sayang, kalau sampai saat ini peran Dewan Pendidikan sepertyinya diambangkan, terutama jika dikaitkan derngan peran kontrol sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan pendidikan di daerah. Suatui realitas yang harus diselamatkan, untuk mengembalikan peran dan fungsi didirikannya Dewan Pendidikan di setiap daerah.

Sementara keberadaan Komite sekolah di setiap satuan pendidikan seakan hanya lembaga yang ganti baju BP3. peran komite sekolah untuk mengjaka masyaraklat sekitar sekolah terlibat dalam pembanguan pendidikan di lingkungannya, memerlukan kerja keras, karena komite tidfask hanya berperan dalam mengumpulkan dana pembangunan sebagaimana tugas dominan yang dilakukan BP3. Akan tetapi komite secara strategis memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan sekolah, sebagai stakeholder yang turut menentukan warna kebijakan di sekolah, serta sebagai lembaga yang memiliki kedudukan egaliter dengan kepala sekolah. Komite sekolah memiliki nilai bargaining untuk menjembatani kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

/4/

Undang Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan sandaran hukum bagi pelaksanaan pendidikan di setiap daerah. Diantaranya pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah dan pemerintahan di daerah dan masyarakat. Daerah dan sekolah dituntut tanggungjawab untuk mengelola keuangannya dalam penyelenggaraaan pendidikan dan masyarakat diajak untuk ikutnterlkibat dalam menanggung beban biaya pendidikan. 4)

Hadirnya Otonomi Pendidikan, sepertiinya menjadi sinyal makin beratnya beban biaya penyelenggaraaan pendidikan, ditandai dengan makin mahalnya biaya pendidikan. Sudah menjadi mafhum jika setiap pimpinan lembaga pendidikan dalam pidatonya selalu mengatakan bahwa ,”Pendidikan memangMahal!” Suatu fenomena yang banyak menimbulkan kritikan yang amat tajam, karena mahalnya biaya pendidikan seperti yang dibebankan tidak seimbang dengan fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Mahalnya biaya pendidikan bukan alas an untuk manrik dana yang membebani masyarakat yang tidak mampu, akana tetapi seharusnya kerangka otonomi sekolah atau otonomi pendidiikana memberikana peluang bagi dewan pendidikan di daerah dan komite sekolah di setiap satuan pendidikan untuk mampu mensubsidi siswa dari keluarga kurang beruntung secara ekonomi, dan siswa yang memiliki kemampuan secara ekonomi bisa membayar lebih daripada yang lain.

Mahalnya biaya pendidikan dapat dikatakan wajar, apabila:

Pertama, mampu memberikan pelayanan yang sepadan bagiu konsumen, murid dan orangtua murid, serta anggota masyarakat. Artinya biaya yang diambil dari orangtua murid harus sesuai dengan rencana angaran pendapatan dan belanja sekolah (rapbs) yang telah ditetapkan antara sekolah dengan komite sekolah. Serta keterbukaan dalam memberikan laporan penggunaaan keuangan kepada wali murid yang telah turut berpartisipasi.

Kedua, meningkatnya kesejahteraan guru dan tata usaha di sekolah bersangkutan. Indikator ini menjadi penting, karena guru sebagai person yang berhadapan langsung dalam melakukan pelayanan terhadap siswa, melalui proses pembelajaran. Peningkatan kesejahteraan guru sehubungan dengan naiknya atau mahalnya biaya pendidikan merupakan hubungan relevan tak terbantahkan. Suatu yang riil, ketika sekolah atau lembaga pendidikan menaikkan permintaan dananya kepada masyarakat, anggapan masyarakat tarikan dana tersebut akan meningkatkan pendapatan guru di sekolah itu.

****

Namun tidak kalah pentingnya dengan mahalnya biaya pendidikan itu, adalah keterbukaan manajemen pengelolalan keuangan lembaga pendidikan. Hampir dapat dipastikan, setiap pembicaraan angaran dana pendidikkan selalu yang disentuh adalah angaran yang berasal dari orangtua murid, dan anggaran yang berasal dari bantuan operasional manajemen mutu, bantuan imbal swadaya. Tetapi sangat jarang pimpinan lembaga pendidikan atau persekolahan membicarakan penggunaan dana rutin yang diterima setiap tahunnya. Artinya membicarakan mahalnya biaya pendidikan jika tidak dibarengi dengan pelayanan terhadap publik dan peningkatan kesejahteraan pengajarnya , patut dikritisi dan disomasi karena mahalnya biaya pendidikan tidak menjamin kualitas pelayanan yang diberikan. Barangkali mahalnya biaya pendidikan karena ada anggaran rutin yang sengaja ditutup rapat. Paling tidak, komite sekolah dapat bertindak jeli dalam penetapan rencana anggaran pendapatan dana belanja sekolah, untuk juga mengkalkulasi dana rutin yang diterima oleh setiap sekolah. Sebab, dana rutin pun juga awalnya berasaal dari uang rakyat.

Kalau mahalnya biaya pendidikan direkakan untuk memperbaiki kualitas pelayanaan dan proses pendidikan sehingga dihasilkan lulusan yang berkualitas, masih setengah hati dilakukan, maka sebenarnya ini adalah pengingkaran terhadap pendidikan yang dilakukan, karena nilai utama pendidikan adalah keikhlasan. Jika lembaga pendidikan tidak ikhlas untuk mengemukakan dana rutin dan pendapatannya, maka tandanya ada ganjalan untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas pendidikan. Anda boleh tidak percaya kalau nantinya, produk pendidikan itu akan menjadi lulusan yang mengganjal Dan ternyata biaya mahal untuk pendidikan di negeri ini, masih menghasilkan ganjalan-ganjalan yang menelan dana pendiikan yang demikian mahal.

Ah pendidikan, barangkali hanya sebuah mimpi yang tak terbeli oleh kaum tak bermateri@

*Penulis adalah guru, penyair dan tukang gambar ilustrasi.

Catatan kaki:

 

 

 

 Back To Daftar Isi

DUH! BIAYA PENDIDIKAN KITA

Oleh Abd. Kadir *)

 

Berbicara tentang pendidikan, ada banyak hal yang patut kita renungkan dalam kehidupan ini. Berbagai persoalan muncul seiring dengan laju pendidikan yang selalu berada dalam proses pembenahan. Persoalan pemerataan, kurikulum, tenaga pendidikan, peserta didik sampai pada pembiayaan pendidikan tampaknya sulit untuk dilepaskan dalam perjalanan pendidikan kita.

Dapat dibayangkan, memang sekilas mengenai perkembangan pendidikan ini terasa menggembirakan sebab pendidikan yang pada hakikatnya memiliki tujuan manusiawi bagi pengembangan sumber daya manusia di negara kita juga mendapatkan tempat (Manshur, 2004). Namun, benarkah pendidikan kita benar-benar berdiri dalam jalur yang benar sesuai dengan misi kemanusiaan itu sendiri? Persoalan inilah yang seringkali muncul dan menyeruak menambah kejumudan berpikir masayarakat ketika pendidikan yang ‘diagung-agungkan’ sebagai pengemban misi luhur kemanusiaan justru menjadi buah simalakama bagi kehidupan masyarakat. Di saat masyarakat terjerembab dalam kubangan krisis berkepanjangan, di saat itu pula pendidikan kita hadir dengan biaya yang melambung. Sungguh sebuah fenomena yang meresahkan.

Beranjak pada pertanyaan macam inilah, tampaknya kita harus menilik kembali hakikat pendidikan, sebab pendidikan yang semarak berkembang saat ini sesungguhnya bukan berdiri sendiri. Pendidikan yang saat tumbuh berkembang subur tentu saja akan terkait dengan kondisi sosial-ekonomi yang sedang berkembang. Di satu sisi masyarakat dihadapkan pada pentingnya pendidikan bagi anak didik yang notabene sebagai generasi masa depan bangsa ini. Namun, di sisi lain biaya pendidikan yang semakin hari semakin tak terjangkau telah memaksa kita untuk mau tidak mau mengikuti alur problematika pendidikan (khususnya tingginya pembiayaan pendidikan) yang mengemuka.  

Persoalan Pendidikan: Melambungnya Biaya

Persoalan tentang melambungnya pembiayaan pendidikan dapat disimak dalam berbagai kasus yang mengemuka di negeri ini. Sebuah kasus di Solo, misalnya, tentang seorang anak kecil yang harus selalu berjalan mendatangi tempat-tempat strategis untuk menjajakan dagangannya yang berupa onde-onde demi membantu orang tuanya untuk membiayai sekolahnya merupakan potret nyata dari mahalnya pendidikan kita (Kisawa, 2003). Atau bagaimana seorang tukang becak harus rela mengorbankan anaknya yang termasuk dalam kategori ‘mampu’ dalam hal pemikiran untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena sang orang tua sudah tidak mampu lagi untuk menyekolahkannya karena juga harus menanggung beban hidup ketiga adiknya. Atau pula kisah mengharukan yang terlontar dari seorang anak yang ditinggalkan bapaknya dengan ibu sebagai single parent dalam hidupnya bahwa ia akan melanjutkan sekolah hanya pada tingkat SLTP saja karena merasa kasihan dengan ibunya yang telah bersusah payah membiayainya dan harus menentukan pilihan bahwa ia akan membantu ibunya dalam mencari nafkah hidupnya. Sungguh fenomena yang tak mungkin dapat kita abaikan begitu saja.

Berbagai kasus di atas, tampaknya bukan hanya menjadi persoalan masyarakat di daerah tertentu saja (seperti kota Solo yang dipaparkan di atas) . Mungkin hal ini menjadi fenomena umum yang mengitari kehidupan masyarakat grass root kita. Apa yang dapat mereka andalkan untuk membiayai pendidikan yang begitu melangit? Apa yang dapat mereka persembahkan buat anak-anak mereka kalau dalam mebiayai hidup untuk makan saja mereka harus bekerja kerasa siang malam dengan hasil yang belum pasti?

Setiap pergantian tahun pelajaran, para orang tua, selalu dihadapkan pada masalah biaya pendidikan. Terlebih bila ada anaknya yang akan masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi, maka mereka harus bersiap-siap merogoh kocek lebih dalam. Banyak orangtua atau bahkan juga anak-anak-yang menderita stres ketika mereka harus mendapatkan sekolah baru untuk pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Rini, 2000). Sebuah taman kanak-kanak swasta di kota besar, misalnya, ada yang sampai memungut uang masuk Rp 20 juta (Nachrowi, 2003). Lalu bagaimana dengan sekolah di tingkat yang jenjangnya lebih tinggi. Ini menjadi pertimbangan tersendiri bagi orang tua dalam menyekolahkan anak.

Dan ternyata, hal serupa terjadi untuk sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah menengah umum, dan perguruan tinggi yang termasuk dalam perguruan tinggi badan hukum milik negara. Kenaikan biaya dirasakan meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya.

Anak taman kanak-kanak harus masuk sekolah dasar, lalu sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, selanjutnya ke perguruan tinggi.Selain harus menyediakan sejumlah uang sebagai uang pangkal (bahkan sering kali mesti ditambah pula dengan uang sumbangan sukarela), juga mesti memindahkan sebagian uang keluarga untuk membeli buku pelajaran dan seragam sekolah yang baru (Rini, 2000).

Sebagai orang tua, kita pasti setuju bahwa pendidikan mempunyai peranan besar terhadap masa depan anaknya, sehingga demi mendapatkan pendidikan yang terbaik. Oleh karenanya, menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan yang paling tinggi adalah salah satu cara agar si anak mampu mandiri secara finansial nantinya. Namun, mahalnya biaya pendidikan saat ini ditambah lagi dengan naiknya biaya pendidikan dari tahun ketahun seringkali membuat orang tua tidak mampu menyediakan dana pendidikan tersebut pada saat dibutuhkan.

Namun juga perlu diakui, bahwa pada dasarnya untuk memperoleh kualitas pendidikan yang bagus dibutuhkan biaya besar sehingga biaya operasi untuk mendapat kualitas yang baik perlu upaya khusus dengan biaya ekstra. Akibatnya, terkesan ada hubungan antara kualitas dan biaya.

Bila dilihat secara empiris, banyak sekolah mahal di khususnya di ota-kota besar yang mempunyai fasilitas bagus, kualitas pendidikannya pun bagus. Sebaliknya, kita tidak boleh terlalu berharap atas kualitas lulusan SD inpres, yang bangunan dan fasilitas pendidikan lainnya sangat memprihatinkan dan yang sebagian gurunya harus berjualan rokok di sore dan malam hari guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Artinya, untuk menghasilkan lulusan yang baik dibutuhkan fasilitas yang baik pula, yang implikasinya adalah pendanaan yang baik.

Jika hanya masyarakat berduit saja yang mampu mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus, bagaimana dengan masyarakat bawah yang ingin meningkatkan taraf hidupnya melalui pendidikan yang berkualitas. Apakah masyarakat miskin harus menurunkan generasi penerus yang miskin? Inilah letak persoalannya.

Selama ini kita masih dihadapkan pada realitas bahwa sekolah yang berkualitas ‘seolah-olah’ hanya untuk dirasakan masyarakat yang ‘beruang’ saja. Sementara masyarakat bawah harus tetap pada posisinya sebagai kelas ‘kedua’ yang harus mendapatkan pendidikan ‘asal-asalan’.

Memang selama ini pemerintah telah banyak mengeluarkan biaya (berupa beasiswa dan bantuan minimal pendidikan) untuk mengurangi beban pendidikan anak. Namun apa yang telah dikeluarkan pemerintah ternyata tidak seberapa bila dibanding dengan kebutuhan yang diperlukan oleh sekolah untuk menghasilkan kualitas yang memadai. Pada akhirnya jalan yang ditempuh adalah dengan ‘berkreasi’ mencari dana tambahan pada orang tua murid. Di sinilah kemudian beban itu lagi-lagi menghimpit orang tua murid.

Tentang biaya pendidikan dasar yang ditanggung orang tua, hasil studi Balitbang Depdiknas (Abbas Ghozali dan kawan-kawan dalam Nandika, 2004) di 15 provinsi di Indonesia menunjukkan, orang tua siswa SD/MI rata-rata menanggung biaya pendidikan sebesar Rp 1,535 juta per siswa per tahun. Biaya ini terdiri atas biaya untuk buku dan alat tulis (Rp 223.000), pakaian dan perlengkapan sekolah (Rp 323.000), transportasi (Rp 273.000), karyawisata (Rp 49.000), uang saku (Rp 433.000), dan iuran sekolah (Rp 234.000).

Sementara orang tua siswa SMP/MTs rata-rata harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 1,894 juta per siswa per tahun. Biaya ini termasuk untuk buku dan alat tulis (Rp 224.000), pakaian dan perlengkapan sekolah (Rp 333.000), transportasi (Rp 308.000), karyawisata (Rp 61.000), uang saku (Rp 571.000), dan iuran sekolah (Rp 399.000). Besarnya biaya tersebut tentu belum termasuk biaya untuk akomodasi, konsumsi, dan kesehatan, serta forgone learning, yaitu potensi penghasilan yang tidak jadi diterima karena anak bersekolah dan tidak bekerja.

Mahalnya biaya pendidikan memang masih jelas menjadi kendala utama bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan sehingga dikhawatirkan hanya anak-anak keluarga yang kaya yang dapat menikmatinya (Nandika, 2004). Padahal, Pasal 31 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan Ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Perintah UUD 1945 ini diperkuat lagi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 Ayat 1), bahkan setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1). Dalam kaitan ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2).

Pendidikan Kita: Realitas dan Harapan

Pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai kepentingan pihak-pihak dominan, terutama para pemegang kekuasaan politik dan kekuasaan modal. Terutama dalam keterkaitannya dengan industrialisasi, kepentingan kapitalisme dalam dunia pendidikan telah bisa kita saksikan sejak tahun 1970-an. Sejak tahun ini, bersamaan dengan tegaknya pilar ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru, pendidikan kita mulai kehilangan rohnya sebagai satu pilar utama peningkatan SDM yang memiliki visi kemanusiaan (Manshur, 2004).

Di bawah payung ‘pembangunanisme’ itulah pendidikan kita hingga sekarang, saat situasi neoliberalisme tegak berdiri, nasib pendidikan kita hanya menjadi penyangga industrialisasi. Apa yang disebut dengan pendidikan model link and match mungkin tepat untuk memberikan label pada pendidikan yang tidak murni ini. Pola hubungan pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan proses industrialisasi atau politik penguasa. Dengan demikian, pendidikan selalu diarahkan pada kepentingan-kepentingan dagang atau politik, bukan lagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana misi sejatinya (Manshur, 2004).

Di bawah tekanan industrialisasi dan politisasi pendidikan inilah para peserta didik kemudian hanya bisa menjadi mesin-mesin industri yang harus tunduk dan patuh pada kepentingan pragmatis. Di sinilah kemudian muncul persepsi yang mengungkapkan adanya proses komodifikasi dalam pendidikan (Faqih dalam Wahono, 2001).

Kenyataan ini dapat dilihat dari jenis biaya pendidikan yang dilaksanakan di UGM misalnya. Biaya yang ada terdiri atas Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) tiap semester, Biaya Operasional Pendidikan (BOP) tiap semester, dan Sumbangan Pengembangan Mutu Akademik (SPMA) yang dibayarkan sekali saat masuk pertama kali sebagai mahasiswa baru (Widodo, 2003).

Biaya pendidikan di UGM yang merupakan PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN) terdiri atas dua macam sumbangan (SPP dan SPMA) dan satu biaya pendidikan realistik (BOP). Besarnya BOP pantas untuk pendidikan sarjana, Rp 500.000 hingga Rp 750.000 per semester. Namun ketika ditambah SPP Rp 500.000 per semester, akan amat terasa kebenaran berita bahwa Pendidikan Belum Berpihak pada Kaum Marjinal (Kompas, 23/4).

Belum lagi adanya SPMA, kenyataan ini telah benar-benar mengesankan bahwa Pendidikan Tinggi Kehilangan Getaran Kependidikannya (Kompas, 23/4). Mengapa? Karena besarnya SPMA dapat dipilih—sesuai kekuatan ekonomi keluarga calon mahasiswa—antara Rp 0 hingga Rp 5.000.000. Dan realitas ini barangkali juga berlaku untuk perguruan tinggi-perguruan tinggi lain yang telah dianggap bonavide oleh masyarakat dengan modifikasi yang berbeda.

Mungkin bukan hanya dalam perguruan tinggi saja, mahalnya pendidikan pada sekolah dasar pun sebenarnya telah terjadi. Biaya pendidikan yang harus ditanggung untuk memasuki sistem sekolah sangatlah beragam, tentu jumlahnya pun sangat besar, mulai uang bangunan, uang buku, uang seragam, uang ujian, belum lagi pungutan-pungutan lainnya.

Dalam perspektif ini, muncul sebuah kecenderungan bahwa seolah-olah pendidikan tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Jika tak punya uang, maka benarlah dikatakan bahwa orang miskin terlarang memasuki bangku kuliah. Ini merupakan cermin nyata dampak integrasi pendidikan dalam pasar bebas. Jelas bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas, sebenarnya implikasi yang paling logis diterima atas kebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan. Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisi perekonomian masyarakat yang umumnya tak berdaya baik sebelum maupun sesudah krisis (Susetyo Pr, 2004). Dari Orde Baru hingga sekarang, perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi, meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elit semakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidak sulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue pembangunan, dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi objek pembangunan. Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak.

Dengan jumlah pengangguran tinggi dan pendapatan sebagian besar penduduk yang rendah, besarnya biaya yang harus ditanggung untuk bersekolah tidak dapat ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Dan ironisnya realitas semacam ini mendapat respon yang cukup naïf dari pemerintah dengan hanya menganggarkan hanya 20% biaya pendidikan—yang hal ini masih belum dikurangi dana taktis yang harus ‘lenyap’ dalam proses operasionalnya. Lebih ironis lagi ketika kita masuk ke daerah-daerah yang hanya memberikan alokasi dana untuk bidang pendidikan hanya sekitar 7-10% saja. Sungguh sangat naïf.

Memperhatikan nasib pendidikan di negara ini, kita hanya bisa mengelus dada. Realitas yang paling menyedihkan dari semuanya adalah bahwa pemerintah selama ini terkesan tidak serius memberikan perhatian bagi terpenuhinya pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Lebih ironis lagi ketika biaya pendidikan yang minim tersebut ternyata banyak mengalami kebocoran yang ‘kejahatan’ tersebut dilakukan oleh para praktisi pendidikan itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam waktu dekat ini, harapan kita kepada para elite politik dan pemimpin baru negeri ini adalah mudah-mudahan mereka kembali menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses memajukan rakyat agar bangsa ini bisa membuktikan bahwa Indonesia masih ada dan berdiri tegak di tengah-tengah masyarakat dunia. Semoga!

 

*) Penulis adalah guru, tinggal di Sumenep.

 

Daftar Pustaka

Kisawa, Wisnu. 2004. “Mahalnya Pendidikan bagi Tri Hermawan” dalam Suara Merdeka. Semarang. Edisi Selasa, 4 Mei.

Manshur, Faiz. 2003. “Kapitalisasi dalam Pendidikan Kita” dalam Pikiran Rakyat. Bandung. Eidisi Rabu, 25 Juni.

Nachrowi, Djalal Nachrowi. 2003. Pendidikan Mahal, Siapa Bertanggung Jawab?” dalam Kompas. Jakarta. Edisi Selasa, 24 Juni.

Nandika, Doni. 2004. “ Dana Penuntasan Wajib Belajar, Seberapa Besar?” dalam Kompas. Edisi Senin, 04 Oktober.

Rini, Mike, 2000. “Mensiasati Biaya Pendidikan” dalam Danareksa.com.

Susetyo Pr, Benny. 2004. “Orang Miskin Dularang Sekolah” dalam Sinar Harapan online. Edisi Selasa, 24 Agustus.

Wahono, Francis. 2001. Kapitalisme Pendidikan. Yogyakarta: Insist.

Widodo, Winarso Drajad . 2003. “Selamat Datang Pendidikan Mahal” dalam Kompas. Edisi Kamis, 01 Mei.

 

 

 

 Back To Daftar Isi

Krisis Manusia Modern dan Peran Pendidikan Islam

Abdul Wahid Hasan*

 

Dunia yang Tak Terkendali.

Anthony Giddens menyebut abad XX sebagai “abad berdarah dan menakutkan” (the twentieth-century world is a bloody and frightening one). Dasar kesimpulan ini terutama merujuk pada dua perang dunia yang terjadi dalam dua kurun waktu kurang dari 40 tahun dengan korban jiwa tak terhingga.1 Pernyataan itu juga tidak bisa dilepaskan dari pembantaian tidak kurang dari 6 juta orang Yahudi oleh Hitler di tahun 1940-an, terutama di kamp-kamp konsentrasi Auschwits, Bergen-Belsen, Dachau dan Treblingka,2 seperti juga pembantaian para petani oleh Stalin di tahun-tahun yang sama dan disusul pembantaian rakyat sipil Kamboja oleh Polpot di masa berikutnya. Di penghujung abad ini masyarakat dunia juga dikejutkan oleh pembersihan etnis (etnic cleansing) Bosnia-Kroasia oleh Serbia. Dan di awal milenium ketiga, masyarakat dunia dihentakkan oleh tragedi 11 September oleh para teroris.

Selain tindak kekerasan, berbagai tragedi kemanusiaan ini semakin lengkap dengan ketimpangan ekonomi yang semakin menjadi-jadi. Kemiskinan menjadi fakta gelobal. Dunia yang telah dihuni oleh 5,7 miliar jiwa, 1,5 milyar darinya termasuk ketegori sangat miskin. Lebih dari satu miliar penduduk hidup dengan 1 U$ perhari, sementara 358 orang mengumpulkan modal pribadi sekitar 762 milyar U$.3 Maka kelaparan juga masih menjadi warna di banyak negara dunia ketiga.

Sedang di negara maju yang makmur secara material, justru berhadapan dengan tindak kriminal biasa yang telah mencapai tingkat yang tidak bisa ditolerir. Di beberapa negara maju (Eropa dan Amerika) pembunuhan mencapai kisaran 35,6 dalam setiap 100.000 penduduk.4 Berdasar laporan tahunan FBI, di Amerika, pada tahun 1965, telah terjadi lima juta tindak kejahatan --rata-rata satu kejahatan setiap 12 detik, satu pembunuhan hampir setiap jam, satu pemerkosaan setiap 25 menit, satu perampokan setiap 5 menit dan pencurian mobil setiap menit. Demikian juga di Inggris, Jerman, Prancis dan negara maju lainnya. “Planet kita adalah lautan kejahatan,” kata seorang kriminolog Amerika.5 Belum lagi krisis ekologi yang sangat mengkhawatirkan. Lebih dari 80% air di Amerika tercemar limbah industri, kandungan asam tembaga pada kabut kota London tahun 1952 membunuh lebih dari 4000 orang perhari, kematian yang diakibatkan oleh kangker paru-paru melonjak 40 kali lipat sejak lima puluh tahun terakhir.6

“Semua pada akhirnya tak manusiawi,” kata kaum nihilis. “Semuanya diperbolehkan, karena Tuhan tidak ada dan manusia sudah mati,” gumam Albert Camus.7 Dunia sekarang adalah “dunia yang lari tunggang langgang” (run away world), kesimpulan Anthony Giddens.8 Sepertinya, kiamat memang tidak akan lama lagi.

Berakar dari Krisis Manusia.

Krisis dunia saat ini memang tampak dalam semua sektor kehidupan. Tapi bukan kesimpulan yang simplistis jika dikatakan bahwa semuanya berakar dari krisis manusia itu sendiri. Ada yang menyebutkan “krisis spiritual”, yang lain menyebutnya “krisis eksistensial.”9 Dalam bahasa yang lebih gamblang, manusia saat ini sedang mengalami kehampaan makna hidup. Dominasi dan hegemoni kehidupan materialistik dan positifistik telah mengantar manusia pada penghancuran dimensi hidup yang lain, yakni dimensi spiritual.

Spiritualitas adalah dimensi yang berada di luar lingkaran kultur materialistik dan positivistik. Ia merupakan dunia, tempat manusia menghubungkan diri dengan The Higher Consciousness atau The Source.10 Dari hubungan ini manusia akan menemukan makna hidup, memahami diri secara utuh dan memberikan arti realitas dalam kondisi merdeka dari kungkungan dimensi material.

Keterputusan dengan The Higher Consciousness kemudian termanifestasi pada tindakan-tindakan yang tidak mempertimbangkan kemanusiaan. Semuanya diukur dengan kepentingan materialistik dan positivistik. Manusia tidak lagi percaya pada potensi dalam dirinya sendiri sehingga harus menggantungkan diri pada hal-hal yang bersifat eksternal.11 Baginya, kesejahteraan tergantung pada kekayaan, rasa aman tergantung pada pemilikan senjata dan pemusnahan segala yang dianggap lawan, kehormatan tergantung pada jabatan, prestasi dan materi, kebahagiaan tergantung pada kebebasan berbuat apa saja.

Dengan kesadaran semacam itu, manusia menyadari bahwa ia harus berjuang untuk mempertahankan diri dan mencapai keinginan yang dianggap sebagai sebagai tujuan hidup. Perkembangan pesat sains hanya untuk kepentingan merancang teknologi. Teknologi dipakai untuk mencapai tujuan hidup individualistik dengan menghalalkan segala cara. Sains dan teknologi hanya diperalat dan berkolaborasi dengan kekuatan kapital. Karena kolaborasi itu akan mencapai target seperti yang diinginkan, ia memerlukan kondisi yang kondusif sehingga diperlukan keterlibatan negara, baik untuk kepentingan perlindungan eksternal atau internal. Inilah yang mengakibatkan dunia carut marut dan “lari tunggang langgang” (run way world).12

Peran dan Posisi Pendidikan Islam

a. Belajar dari Sejarah

Dari berbagai persoalan yang timbul dalam peradaban modern (khusunya Barat ) saat ini, secara diam-diam banyak yang mulai melirik kembali dunia Timur13 (baca : Islam) sebagai solusi alternatif atas krisis multidemensi (terutama moral, existential and spiritual problems and crisis) yang sedang melanda dan mencabik-cabik kehidupan mereka. Sebab, walaupun Islam pernah memimpin dunia dan berada di puncak kejayaannya dalam rentang waktu yang cukup lama, tetapi umat Islam tidak pernah mengalami apa yang dialami Barat selama ini, setelah Barat mencapai puncak kejayaannya. Hal ini paling tidak disebabkan karena walaupun Islam ketika itu memposisikan akal begitu tinggi dan terhormat hingga banyak melahirkan banyak filsuf dan cendikiawan lainnya, tetapi mereka tetap menjunjung tinggi agama (wahyu) sebagai garis perjuangan dan perjalanan karir mereka.

Secara historis, Islam sudah terbukti memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, sehingga banyak memberikan sumbangan terhadap kemajuan peradaban manusia (termasuk Barat) saat ini. Dalam acara penandatanganan kerjasama UIN (Universitas Islam Negeri, yang semula bernama IAIN Syarif Hidayatullah) dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa di Jakarta (Kamis tanggal 30 Mei 2002) cendikiawan muslim Nurcholish Madjid menyatakan bahwa selain melahirkan ilmu-ilmu yang orisinal, jasa terbesar Islam dalam perkembangan peradaban manusia adalah merangkum ilmu dari berbagai bangsa di dunia. Hal ini bisa dilakukan karena Islam pada masa awal perkembangannya menguasai wilayah Timur Tengah yang sangat strategis dan dekat dengan pusat-pusat peradaban saat itu 14.

Pengakuan bahwa Islam telah banyak berjasa terhadap kemajuan Barat saat ini, tidak hanya datang dari kalangan Islam (yang bisa saja mengandung unsur-unsur subyektifitas), tetapi juga dari sarjana Barat sendiri. W. Montgomery Watt misalnya mengatakan :

..it clear that the influence of Islam on western Cristendom is greater than usully realized. Not marely did Islam share with western Europe many material products and tecnological discoveries; not merely did it stimulate Europe intellectually in the fields of science and philosophy; but it provoked into forming a new image of itself.15

Selain itu, kita melihat bahwa sejarah pendirian Universitas Napoli pada tahun 1224 oleh Pangeran Frederik adalah dimaksudkan sebagai media transformer peradaban dan karya intelektual umat Islam ke dunia Barat. Universitas Polonia dan Padova, misalnya, menjadikan filsafat Ibnu Rusyd (mereka menyebut: Averroes) dan kedokteran Ibnu Sina (mereka menyebut : Avicenna) sebagai materi pokok di universitas tersebut. Selama berabad-abad ilmu kedokteran Islam menjadi mata kuliah pokok fakultas kedokteran di universitas-universitas Barat. Universitas-universitas lainnya berdiri untuk secara tekun menguliti peradaban Islam dan mengambil sari pati dari peradaban tersebut. Fakta ini secara jelas dapat dibaca dalam buku Gustav Lebon, Miguel Asin Plasius, buku The Influence of Islam on Medieval Europe karya W. Montgomery Watt, buku karya Moritz Steinschneider, buku Studies in the History of Medieval Science karya Charles Homer Haskins, buku Introduction to the History of Science karya George Sarton, buku Arabic Science in the West karya D. M. Dunlop dan buku- buku lainnya. Tidak berlebiah kalau akhirnya para pakar dan sejarahwan Barat seperti Wels, Lebon, The Boer, Ollery, Toynbee dan Watt sampai pada kesimpulan dan pengakuan yang begitu jujur bahwa intelektual Islam-lah yang telah menyalakan api renaissance peradaban Barat.16

Dari sini kemudian bisa ditegaskan bahwa Islam memiliki warisan klasik (turats) yang sangat kaya, dan jangkauannya tidak bisa dibatasi oleh wilayah dan zaman tertentu. Lebih jauh, Asisyah Abdurrahman menyatakan bahwa kebudayaan Mesir kuno yang tertulis di atas kertas-kertas papirus adalah termasuk turats Islam, termasuk peninggalan kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib dan wilayah-wilayah lain. Hal ini karena penduduk wilayah tersebut telah memeluk Islam. Otomatis, mala lampua mereka menjadi milik Islam pula.17

Jauh lebih penting dari ‘klaim’ di atas, adalah bahwa turats, seperti dinyatakan oleh Hasan Hanafi, memiliki dua bentuk; material (yaitu manuskrip dan kumpulan kitab-kitab yang tersimpan di musium, perpustakaan dan lain-lain) dan yang berbentuk immaterial yaitu warisan kejiwaan dan adat istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat.18

Semangat yang tersimpan di balik turats yang berbentuk immaterial inilah yang semestinya terus dipupuk dan dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam. Pendidikan memegang peran penting dan menempati posisi yang vital untuk bisa membangkitkan kembali semangat belajar, meneliti dan berpikir seperti yang dimiliki umat Islam tempo dulu. Sebab, seperti kata Muhammad Abduh, education is regarded as the most efficacious of means of change.19 Bahkan dengan agak ‘sesumbar’, Schumacher menyatakan : if we believe in nothing else, we certainly believe that education is, or should be, the key of everything.20

Dengan demikian, hal-hal yang menyebabkan Islam memiliki kekayaan khazanah ilmu pengetahun yang luar biasa (seperti penggunaan akal yang tepat di samping wahyu atau agama serta pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam yang mendorong pengembangan ilmu pengetahuan) perlu diperkenalkan secara baik kepada peserta didik untuk agar menjadi motivasi yang kuat guna meraih dan mencapai apa yang pernah diraih dan dicapai Islam di masa yang lampau, tentunya dengan mewarisi “semangat” mereka. Demikian juga hal-hal yang menyebabkan Islam ‘tertidur pulas’ dalam jangka waktu kurang lebih delapan ratus tahun sejak serangan Mongol (dan kini sudah mulai menggeliat kembali, setelah dunia lain jauh meninggalkannya) juga perlu disampaikan kepada perserta didik dengan cara yang arif dan bijaksana agar mereka tidak terjebak dan terjerumus dalam kesalahan yang sama. Dengan bahasa lain, agar semua itu bisa menjadi ibrah berharga bagi mereka dalam menata masa depan. Dengan demikian, peserta didik (anak-anak muslim) akan bangga sebagai muslim, karena mereka menyadari bahwa Islam adalah agama yang agung dan mencinta ilmu pengetahuan.

Sebab, bagaimanapun, masa depan manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan begitu saja dari masa lalunya. Dalam arti bahwa masa lalu (sejarah) akan ikut andil dalam menentukan sebuah masa depan. Selain itu, sejarah masa lalu yang sudah teruji dalam rentang waktu yang lama, akan menjadi pelajaran yang baik untuk menentukan corak masa depan. Cukup bijaksana jika kemudian Edmund Burke (1729-1797), seorang penganut ideologi konsevatif Inggeris pernah menyatakan :

…the cultural heritage or tradition was a repository of the time-tested achievements of human-kind. Social, political, religious and educational institutions—the family, state, church and school—are cultural products that have evolved over the centuries of human experience.21

 Terkait dengan hal ini, Gerald Lee Gutek juga pernah menyatakan (ketika membahas pandangan konservativisme) bahwa the past is the source of the tradition that shape social institutions and human relationship…from the past, a people, a particular society, inherits a collective wisdom based on lessons learned over time.22

Namun, selama ini, dalam memandang dan menatap masa depan, umat Islam, kata Murad Wilfre Hoffman, setidaknya terbagi dalam tiga varian; pertama, varian –yang karena persepsi pribadi dan pengalaman hidupnya—melihat umat Islam berada dalam degradasi terus-menerus. Dalam pandangan kelompok ini, hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dan besok akan lebih buruk dari hari ini. Demikian selanjutnya23. Kedua, varian yang meliaht umat Islam berada dalam gelombang naik-turun/maju mundur perkembangan peradaban yang semakin pesat ini, sikap muslim ternyata sangat bervariasi. Dan ketiga, varian yang melihat umat Islam berada dalam kemajuan yang terus menerus.24

Sikap varian ketiga (atau paling tidak varian yang kedua) memiliki optimisme yang tinggi untuk kembali mengembalikan Islam seperti yang pernah dicapai beberapa abad yang silam. Hal ini tidak terlalu berlebihan. Indikasi ke arah tersebut sebenarnya samar-samar sudah mulai ‘berwujud’ dengan semakin sadarnya umat Islam akan ketertinggalannya dan semakin tertariknya mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan fenomena ini diam-diam juga mulai megejutkan Barat. Tidak aneh (barangkali) kalau kemudian Thomas O’ Toole dan Marvin Centron menyatakan bahwa agama yang paling cepat perkembangannya adalah Islam. Islam adalah kepercayaan yang dominan di selebar dunia yang terbentang dari Maroko di Barat ke Pakistan melewati India sampai Malaysia dan Indonesia di Timur.25

Optimisme ini harus terus dikembangkan dan ditanamkan kepada peserta didik, tentunya melalui jalur pendidikan, baik yang formal, informal ataupun yang nonformal. Rasionalisme yang pernah dimiliki umat Islam, harus dibangkitkan kembali setelah ditinggalkan selama beratus-ratus tahun lamanya. Namun, rasionalisme tersebut harus tetap mengakar pada bimbingan dan petunjuk agama (religious framework), sehingga kemajuan yang akan dicapai akan membawa ketenangan dan kedamaian bagi hidup dan kehidupan.

 b. Materi/Kurikulum : penyelarasan antara IQ, EQ dan SQ

Selama ini, orientasi pendidikan kita masih lebih banyak mengacu kepada upaya peningkatan kecerdasan intelektual (kognisi) saja, dengan ‘menyingkirkan’ pendidikan nilai dan kepribadian atau afektif. Tidak aneh kalau kemudian kita menyaksiakan kejahatan kelas ‘kakap’ (seperti KKN, penyalahgunaan wewenang atau jabatan, kekerasan dan tindak kriminal lainnya), menjadi begitu marak dan subur di negara ini. Sebab, dengan IQ yang tinggi, sesorang justeru menjadi semakin berbahaya karena dia bisa dengan (semakin) mudah melakukan kejahatan yang rapi dan profesional.

Berangkat dari fenomena di atas, maka pendekatan psikologi transpersonal dirasa penting untuk melihat sisi fundamental yang terabaikan dalam diri manusia ketika melihat berbagai kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Dalam psikologi transpersonal dikenal bahwa dalam diri manusia terdapat potensi spiritual yang akan melahirkan kecerdasan manusia pada tingkat yang lebih fundamental. Kecerdasan ini berkaitan erat dengan persoalan kehidupan yang paling mendasar. Inilah yang menentukan sejauh mana manusia memahami diri, makna dan tujuan hidup. Ketika wilayah ini tidak tersentuh perenungan manusia maka yang akanlahir adalah krisis eksistensial. Krisis ini akan berdampak luas, karena pemahaman tentang hal-hal yang fundamental menjadi kendali aktivitas manusia sehari hari. Yang jelas, manusia tidak akan hadir secara utuh, jika ada sisi dalam dirinya yang terabaikan.

Dalam kajian tentang persoalan ini, tentu saja buku-buku trend psikologi terbaru perlu menjadi rujukan. Ia merupakan studi-studi terdahulu tentang manusia berikut berbagai persoalan yang terjadi di kawasan lain. Daniel Goldman dengan bukunya Emotional Quetient (EQ) dan Danah Zohan & Ian Marshall dengan bukuknya Spiritual Quetient (SQ) perlu dikaji dan mendapat perhatian., terutama sebagai kerangka teori dan pendekatan. Kajian-kajian tersebut merupakan temuan baru yang menukik secara mendalam terhadap persoalan manusia, serta merupakan pendidikan yang bertujuan mencerdaskan sehingga manusia bisa menikmati hidup secara lebih baik, beradab dan damai.

Persoalan-persoalan yang muncul di negeri ini juga bisa dijelaskan dari perspektif dan kerangka teori seperti di atas. Artinya, ketika sistem pendidikan tidak mampu melihat manusia secara utuh, masalah akan timbul. Dalam penilaian penulis, selama ini sistem pendidikan yang terdiri dari kurikulum, pola pengajara, materi, orientasi serta para pelakunya telah terjebak dalam pandangan tidak utuh tersebut. Kesalahan rumusan tujuan pengajaran teologi Islam (tauhid) yang melahirkan ekslufisisme, wacana benar-salah, kafir-iman dan surga-neraka yang selalu diindoktrinasi, pendidikan yang tidak humanis dan kekerasan sistematis yang dilakukan guru terhadap peserta didik di ruang kelas serta pendidikan yang hanya mengarah pada pengembangan intelektual, termasuk contoh-contoh kesalahan pendidikan kita. Ini semua terjadi karena pendidikan kita sudah melupkan dimensi spiritual sebagai pijakan dalam menjalankan dan menerapkan kebijakannya.

Maka sangat penting (dan mendesak) untuk mencoba memasukkan bobot-bobot dan nilai-nilai spiritualitas dalam pendidikan kita (Islam); spritualitas yang bukan hanya sekedar lawan atau negasi dari materialias dan rasionalitas, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu spiritulaitas yang mampu membangun, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi kritis siswa sebagai pertanda keberadaan dan aktualitas hidupnya. Dengan daya kritis itulah, siswa akan mampu menerobos dan melampai batas-batas eksistensi dirinya. Inilah sebenarnya yang menjadi batas antara materialitas dan rasionalitas dengan spritualitas yang segera akan mencair ketika seseorang memasuki dimensi kritis dari dirinya sendiri.

Lebih jauh lagi, Pendidikan Islam musti terus menaruh perhatian yang serius terhadap upaya pengembangan bentuk kecerdasan ketiga (third intelligence) yaitu kecerdasan yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai Kecerdasan Spiritual (SQ; Spiritual Quotient); sebuah kecerdasan yang bertumpu dan mengakar pada hati nurani. SQ ini juga disebut sebagai soul’s intelligence. 26 Prof. Dr. Khalil Khavari menganggap SQ sebagai fakultas dari dimensi nonmaterial kita –ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya.27

Hal ini sangat penting, sebab kecerdasan inilah yang akan membantu manusia keluar dari berbagai krisis hidup dan krisis makna yang dihadapi seperti keterasingan, kegelisan dan problem eksistensi sebagaimana banyak diidap oleh masyarakat modern saat ini setelah mereka menuhankan akal dan telah mencapai kepuasan intelektual dengan berbagai penemuan ilmiah dan capaian teknologi yang terus meningkat. SQ is the intelligence with which we heal ourselves and with which we make ourselves whole.28

Kecerdasan spiritual inilah yang nampaknya tidak dimiliki Barat saat ini. Sehingga ketika mereka mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam berbagai bidang: ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka masih berada dalam krisis yang tak kunjung usai. Self- awareness (kesadaran diri) yang menjadi keriteria tertinggi kecerdasan spiritual sudah menghilang dari diri mereka. Inilah kondisi yang oleh Zohar dan Marshal disebut-sebut sebagai budaya yang bodoh secara spiritual (spiritually dumb culture). Maka Zohar dan Marshal mengatakan :

Developing greater self-awareness is a high priority for raising SQ. The first step, obiously, is simply to become aware of the problem, to become aware of how little I know about ‘me’. Then I must commit my self to some simple daily practices that I will improve my communacation with my self.29

Menyadari problem yang sedang terjadi dan menimpa serta mengenal diri sendiri adalah karakterisktik utama SQ yang sekaligus membedakan ia dengan IQ dan EQ. Komputer misalnya, memiliki IQ yang sangat hebat dan beberapa binatang tertentu memiliki EQ yang tinggi. Tetapi tidak satupun di antara mereka yang pernah bertanya: Mengapa ? Ada apa ? serta pertanyaan fundamental lainnya. Keduanya tidak pernah bertanya secara kritis why we have these roles or this sitiation.

Dari sinilah semakin jelas betapa pentingnya SQ (yang juga berfungsi untuk mengefektifkan fungsi IQ dan EQ) bagi kehidupan manusia modern. Barangkali tidak berlebihan jika Tanis Helliwell Toronto menyatakan bahwa SQ akan meningkatkan kesuksesan hidup pada dekade yang akan datang30.

Catatan Akhir

Ketika menyaksikan krisis yang melanda Barat, dengan jujur sekali Schumacher mengatakan “ tidak diragukan lagi, pasti ada yang salah dalam pendidikan kita”.31 Bahkan tiga perempat abad yang silam, presiden John B. Lyndon B. Johnson menegaskan bahwa “ …the answer for all national problems comes down to a single word : education.32

Dari sinilah kemudian pendidikan (terutama pendidikan Islam) mesti mampu merumuskan model pendidikan yang mampu menempatkan posisi akal (sebagai sumber ilmu pengetahuan) dan hati (atau agama) secara arif dan bijaksana sesuai dengan tugas dan proporsinya masing-masing. Pendidikan Islam mesti, dengan sendirinya, menjadi alternatif bagi semua permasalahan hidup yang ada, yang banyak dialami dan diidap oleh manusia modern saati ini, terutama Barat. Walaupun begitu, sangat menarik (dan mengesankan) apa yang pernah dinyatakan dengan begitu jujurnya oleh Muraf Hoffman bahwa Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi Barat pascaindustri. Karena memang hanya Islam-lah satu-satunya alternatif. 33

Semoga kita masih bangga dengan Islam.

*Penulis adalah alumnus pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sekarang menjadi staf pengajar di STIK Annuqayah Guluk-guluk.

 

1. Pernyataan itu bisa dilihat dalam buku Giddens, The Nation-State and Violoence (1985), dikutip I Wibowo dalam “Anthony Giddens,” Kompas, Edisi Khusus, 28 Juni 2000.

2. Hamid Basyaib, “Perspektif Sejarah Hubungan Islam-Yahudi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Th. 1993.

3. Berdasar deskripsi Mgr. Suharyo. Lihat catatan St. Sularto “Sejarah Pemahaman tentang Allah,” dalam Kompas, 3 Mei 2002.

4. Eric Fromm, Masyarakat yang Sehat, terj. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 16. Bahkan lebih dari 110 negara masih memperaktekkan penyiksaan karena alasan politik. Lihat St. Sularto, Op. Cit.

5. ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Membangun Jalan Tengah, Terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, Mizan, Bandung, 1992, hal. 87.

6. Ibid ., hal. 93.

7. Ibid., hal. 97.

8. Bahkan Run Way World menjadi salah satu judul bukunya. Dalam buku yang lain Giddens mengistilahkan “juggernaut” (truk besar) yang melaju kencang tanpa kendali sebagai metafor masa kini. Lihat Anthony Giddens, Consequences of Modernity, Stanford University Press, California, 1990, bab V, hal. 151.

9. Krisis manusia yang dimaksud adalah “krisis perspesi” tentang kehidupan. Lihat Frithof Capra, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Bentang, Yogyakarta, 1999, hal. xx.

10. Budhy Munawar-Rahman, “New Age,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 46-48 .

11. Eric Fromm, Lari Dari Kebebasan, terj. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 21

12. Tentang kolaborasi berbagai komponen tersebut, lihat I. Wibowo, “Anthony Giddens,” dalam Kompas, edisi khusus, 28 Juni 2000.

13. Lebih khusus lagi, Barat nampaknya semakin banyak menoleh dan memiliki perhatian yang serius terhadap dunia mistik-spiritualis, sehingga semboyan new age menjadi begitu ramai diperbincangkan banyak kalangan. Semboyan yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Abuderne (dalam mega trend 2000 yang menyebut slogan New Age dengan slogan Spirituality, Yes; Organized Religion, No!, memang cukup menandai pada kecenderungan tersebut. Lihat lebih jauh ulasan Budhy Munawwar Rachman, “New Age” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi….hal. 46-48

14. Kompas, Jumat 29 Mei 2002, hal 9

15. Lihat dalam karyanya “ The Influence of Islam on Medieval Europe” dalam Islamic Survey, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1972, hal. 84. Walaupun begitu, seperti diakui oleh Watt sendiri, besarnya sumbangan Islam itu selalu ditutup-tutupi oleh Eropa bahkan mereka terus berusaha menciptkan citra negatif terhadap Islam. Tindakan seperti ini oleh Watt disebut sebagai “ kompensasi untuk menuti rasa rendah diri terhadap Isalm”. (ibid, hal 82)

16. Dikutip oleh Dr. Aisyah Abdurrahman, Turatsuna Baina Madhi Wa Hadhir, Cairo, 1991, hal. 43-44

17. ibid, hal 8-9

18. Dr. Hasan Hanafi, Al-Tutats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Cairo, 1987, hal. 12-13

19.. Seperti dikutip oleh A.L. Tibawi dalam bukunya Islamic Education, Its Traditions and Modernazation into Arab National Systems, Luzac &Company LTD, London, 1972, hal. 68

20. E. F. Schumacher, Small is Beautiful, Perennial Library, New York, 1975, hal 80

21. Pernyataan tersebut dikutip oleh Gerald Lee Gutek dalam Philosophical and Ideological Perspectives on Education, Prentice Hall, New Jersey, 1988, hal. 194

22. ibid ,

23. Pandang seperti ini bisa saja salah manafsirkan hadits Nabi yang menyatakan bahwa paling baiknya kalian adalah yang berada di masa saya, setelah itu masa berikutnya, dan begitu seterusnya...

24. Murad Wilfred Hoffman, Al-Islam ‘Am 2000, Cairo, 1995, hal 11

25. Dikutip oleh Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Umat, Panji Masyarakat, No. 534

26. Danah Zohar dan Ian Marshall. SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000, hal. 9

27. Dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, SQ: Psikologi dan Agama, Pengantara untuk buku SQ, Mizan, Bandung, 2001, hal. xxvii

28. Danah Zohar dan Ian Marshall, Loc.Cit.

29. ibid, hal. 287-288

30. Pernyataan ini disampaikan oleh T.H. Toronto dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Spiritual Intelligence : A Key to Survival in the 21 st Century. Untuk mengetahui lebih jauh silahkan clik : http://www.spiritualitywork.org/helliwell-01.htm

31. E.F. Schumacher, Op.Cit. hal. 80

32. Samuel Bowles dan Herbert Gintis, Scholing in Capitalis America, Educational Reform and The Contradictions of Economic Life, Basic Book, New York, 1977, hal. 19

33. Murad Wilfred Hoffman, Al-Islam Ka Badil, Kuwait, 1993, hal. 20

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aisyah, Turatsuna Baina Madhi Wa Hadhir, Cairo, 1991.

Basyaib, Hamid, “Perspektif Sejarah Hubungan Islam-Yahudi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Th. 1993.

Bowles, Samuel dan Herbert Gintis, Scholing in Capitalis America, Educational Reform and The Contradictions of Economic Life, Basic Book, New York, 1977

Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Bentang, Yogyakarta, 1999.

Fromm, Erich, Lari Dari Kebebasan, terj. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995

Fromm, Erich, Masyarakat yang Sehat, terj. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994

Giddens, Anthony, Consequences of Modernity, Stanford University Press, California, 1990.

Hanafi, Hasan, Al-Tutats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Cairo, 1987

Hoffman, Murad Wilfred , Al-Islam Ka Badil, Kuwait, 1993

-----, Al-Islam ‘Am 2000, Cairo, 1995

Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, Membangun Jalan Tengah, Terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, Mizan, Bandung, 1992.

 Kompas , Edisi Jumat 29 Mei 2002

Rahman, Budhy Munawar, “New Age,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996

Rakhmat, Jalaluddin, SQ: Psikologi dan Agama, Pengantar untuk buku SQ, Mizan, Bandung, 2001

Sardar, Ziauddin, Rekayasa Masa Depan Umat, Panji Masyarakat, No. 534

Schumacher, E.F. Small is Beautiful, Perennial Library, New York, 1975

Sularto, St. “Sejarah Pemahaman tentang Allah,” dalam Kompas, 3 Mei 2002.

Suharsona, Melejitkan IQ, IE dan IS, Inisiasi Press, Jakarta, 2002

Tibawi, A.L. Islamic Education, Its Traditions and Modernazation into Arab National Systems, Luzac &Company LTD, London, 1972.

Watt, W.M. “ The Influence of Islam on Medieval Europe” dalam Islamic Survey, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1972.

Wibowo, I, “Anthony Giddens,” dalam Kompas, edisi khusus, 28 Juni 2000.

Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000

 

 

 Back To Daftar IsI

WAWANCARA

K. Ilyasi Siradj, SH, M.Ag

Waspadai Orientasi Pendidikan Kapitalistik

 

Pendidikan merupakan sesuatu yang prinsip dalam kehidupan kita. Menurut K. Ilyasi Siradj, SH, M.Ag antara makan dan pendidikan sama pentingnya. Orang butuh makan, karena ia ingin menjaga kelangsungan hidupnya, sementara pendidikan sebagai hakikat dari kemanusiaan itu sendiri. Sebab, martabat kemanusiaan kita pada hakikatnya ditentukan oleh pendidikan. Makan dan pendidikan sama pentingnya. Kalau makan kita mahal, ya pendidikan juga jauh lebih mahal, karena yang menjadikan kita bermartabat pendidikan itu. “ Tetapi, persoalannya yang harus dipahami oleh masyarakat, apakah tingginya pembiayaan ini menunjukkan suatu indikasi tentang adanya pergeseran pendidikan pada model-model pendidikan kapitalis” ujarnya kepada Mohammad Suhaidi RB. Berikut petikannya.

 

Bagaimana kiyai melihat kondisi pendidikan hari ini secara umum di Indonesia dan di Sumenep pada khususnya ?

Mungkin dalam kapasitas saya sebagai ketua Dewan Pendidikan Sumenep (DPS), saya akan lebih memfokuskan pada kondisi pendidikan di Sumenep saja. Gambaran tentang pendidikan Sumenep seperti yang kita lihat. Pertama, dari sisi pemerataan masih membutuhkan perhatian serius. Pemerataan yang kita maksudkan disini adalah seluruh wilayah kabupaten Sumenep dapat menikmati fasilitas pendidikan (belajar) yang relatif berkualitas. Jadi, kita bisa melihat peta kepulauan dan daratan, antara perkotaan dan pelosok, harus tampak sekali pemerataannya dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas. Dan ini ternyata masih belum mendapatkan perhatian yang serius dari banyak pihak. Tentu saja dalam hal ini, masyarakat sangat penting dalam mengambil inisiatif sendiri untuk membangun lembaga pendidikan yang berkualitas yang kemudian harus direspon oleh pemerintah.

Kedua , dari sisi kualitas. Rupa kualitas pendidikan di Sumenep, saya sendiri tidak bisa memastikan seberapa tingkat kualitas pendidikan. Ketika kita bicara tentang kualitas, maka ada barometer tersendiri serta mungkin juga harus dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain.

 

Mengapa mesti demikian, kiyai ?

Sebab, kalau kita tidak mempunyai barometer yang disepakati bersama, misalnya kualitas pendidikan di suatu kabupaten berapa besar persentase yang masuk ke PTN? Saya kira boleh-boleh saja menggunakan barometer itu. Sementara dari sisi lain, yang patut dipertanyakan ; apakah hanya dilihat dari sisi bisa masuk ke PTNberkualitas, lalu dijadikan sebagai ukuran bagi kualitas pendidikan di suatu kabupaten. Karena pendidikan bukan hanya berorientasi hanya untuk merajut studi ke PTN. Apakah kualitas pendidikan di suatu kabupaten juga ditentukan oleh terserapnya anak-anak dalam lapangan pekerjaan. Ini juga kita tidak bisa berhitung secara matematis, karena di Sumenep lebih besar jumlah pendidikan madrasahnya (pendidikan agama) daripada pendidikan umum, tentu persentasenya lebih kecil dari kabupaten lain yang lebih banyak pendidikan umumnya dalam hal terserapnya ke dalam lapangan pekerjaan atau ke PTN. Karena dari sisi persentase jumlah lembaga pendidikan madrasah dan pesantren lebih banyak, kalau dari ukuran itu kualitas dan tidaknya bisa dikatakan sudah berkualitas, tetapi mungkin ada hal lain yang patut dipertimbangkan untuk kualitas pendidikan ini dilihat dari seberapa tingkat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan.Walaupun, Ini memang agak abstrak, tetapi bisa dilihat, misalnya gerak laju pembangunan dari tahun ke tahun, tentu saja bisa dilihat dari hitung-hitungan ekonomi. Seberapa tingkat kesadaran masyarakat bergerak, dilihat dari perilaku budaya dan sebagainya. Makanya untuk point kedua, soal kualitas pendidikan di Sumenep saya tidak bisa memberikan suatu penilaian yang taruhlah apakah baik atau kurang baik ? Semua barometer itu penting kita gunakan mulai dari seberapa banyak anak-anak lulusan SLTA yang masuk ke PTN yang favorit. Seberapa banyak lulusan sekolah kejuruan kita yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan. Itu boleh-boleh saja dapat dijadikan sebagai ukuran. Dilihat dari sisi itu tentu kita masih harus bersaing ketat.

 

Mendapatkan pendidikan yang berkualitas memang merupakan dambaan bersama, tetapi persoalannya kemudian muncul seperti yang saat ini berkembang di tengah-tengah masyarakat kita tentang biaya pendidikan mahal. Bagaimana fenomena biaya mahal ini menurut penilaian kiyai?

Sebenarnya ada perbedaan antara pendidikan yang memerlukan biaya dan pendidikan yang berorientasi pada profit.

 

Bisa dijelaskan lebih jauh ?

Biaya pendidikan memang tidak murah. Mengapa pendidikan itu mahal? Karena pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Pendidikan merupakan sesuatu yang prinsip dalam kehidupan kita. Antara makan dan pendidikan sama pentingnya. Orang butuh makan, karena ia ingin menjaga kelangsungan hidupnya, sementara pendidikan sebagai hakikat dari kemanusiaan itu sendiri. Sebab, martabat kemanusiaan kita pada hakikatnya ditentukan oleh pendidikan. Makan dan pendidikan sama pentingnya. Kalau makan kita mahal, ya pendidikan juga jauh lebih mahal, karena yang menjadikan kita bermartabat pendidikan itu. Tetapi, persoalannya yang harus dipahami oleh masyarakat, apakah tingginya pembiayaan ini menunjukkan suatu indikasi tentang adanya pergeseran pendidikan pada model-model pendidikan kapitalis. Kalau soal orang belajar dengan biaya mahal untuk memperoleh kualitas yang baik, itu sama saja dengan orang berdagang, sangat wajar dan logis. Ingin yang terbaik dengan biaya mahal sama dengan pedagang yang menginginkan keuntungan besar, maka investasi modal juga harus besar. Akan tetapi, apakah orientasi pendidikan kita kapitalis ? Inilah yang harus diwaspadai. Biaya pendidikan tinggi untuk meraih kualitas yang baik sangatlah penting, tetapi yang harus kita jaga ketika pendidikan bergeser menjadi pendidikan yang kapitalis. Dalam artian begini, bahwa persaingan dibuka selebar-lebarnya tanpa ada proteksi kepada mereka yang lemah, tetapi memang seberapa batas dan persaingan dibuka dan seberapa proteksi yang diberikan kepada masyarakat lemah, baik lemah dari sisi ekonomi maupun lemah dari IQ (intelektual)

Nah , dalam dunia pendidikan yang telah diwarnai oleh pola pikir kapitalistik, kompetisi dibuka selebar-lebarnya, dan proteksi pada yang lemah tidak ada. Pendek kata, seluruh lembaga pendidikan hanya buat mereka yang memiliki kemampuan IQ dan kemampuan materi, sementara mereka yang tidak mempunyai kemampuan materi dan IQ dibiarkan mati saja. Inilah prinsip kapitalis. Jadi, kapitalis itu memiliki landasan berfikir bahwa hidup ini akan melahirkan pemimpin yang kuat setelah melalui persaingan yang ketat. Ini sesungguhnya ibarat spermatozoa, dari sekian ribu spermatozoa yang bertahan hidup hanya ada satu yang berhasil hidup, yang lain mati. Kalau ini yang terjadi tentunya sangat menyimpang dari budaya berfikir masyarakat kita. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mereka yang mempunyai kemampuan IQ dan materi saja. Kemudian, gaya-gaya kapitalistik itu yang perlu kita hindari sebenarnya bahwa pendidikan menjadi simbol-simbol status sosial. Gelar, sebagai konsekwensi dari belajar tentu saja penting sebagai pengakuan atas selesainya seorang dalam menyelesaikan proses belajar satu jenjang. Tetapi, gelar menjadi simbol dan status baru. Kalau dulu orang dengan simbol raden ajeng dan kiyai, maka sekrrang muncul simbol dan status sosial, misalnya Prof. Dr. dan lain sebagainya. Bahkan hanya untuk mendapatkan gelar ini ada banyak orang dengan cara membeli. Ini yang sebetulnya harus dijaga.

 

Seperti yang dikatakan kiyai, bahwa kapitalisme pada hakikatnya kekejaman karena prinsip yang dibangun meletakkan kepentingan sepihak dengan menenggelamkan kepentingan banyak pihak yang sangat lemah. Dengan kata lain, kapitalisme merupakan ajang bagaimana yang kuat secara ekonomi bersikap berkuasa atas yang lemah, taruhlah dalam konteks pendidikan, apakah kiyai melihat upaya kapitalisasi semacam ini di dalam dunia pendidikan Sumenep?

Di sumenep saya lihat masih belum. Kita lihat di Sumenep masih dalam taraf bagaimana meningkatkan dan menaikkan biaya pendidikan untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik. Walaupun kecenderungan (kapitalistik, red) itu memang ada dimana-mana, hanya saja kecenderungan tersebut tidak lantas kita katakan sebagai suatu mainstream kapitalistik, karena tidak disetting sedemikian rupa.

 

Pendidikan mahal guna mencapai kualitas yang terbaik menurut pandangan kiyai merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan menjadi keharusan. Apakah dengan biaya yang mahal tersebut bisa dijamin akan menghasil kualitas pendidikan yang sesuai dengan standar?

Jaminan tidak ada. Tetapi bahwa belajar dengan fasilitas yang memadai akan lebih memudahkan anak-anak didik untuk belajar lebih baik sekali.Sukses tidaknya tetap ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana anak didik berada. Kalau kondisi sosialnya sangat bagus, itu bahkan semakin mendorong untuk lebih berkualitas. Kalau soal fasilitas mahal, sebenarnya begini, kecenderungan pelayanan akan lebih baik apabila harga atau tarif juga lebih baik. Tetapi mungkin tidak serta merta hanya pada pelayanan saja, sarana juga sebenarnya sangat menentukan. Misalnya sekolah yang paling maju di Sumenep taruhlah seperti SMU 1, dari sisi sarana dalam rangka membentuk basic saintis pada anak-anak didik, apakah sudah cukup memadai, seperti halnya peralatan komputer, perpustakaan an saran-sarana yang lain.

 

Pendidikan mahal dengan bertumpu pada kualitas yang dihasilkan mungkin di satu sisi memang biasa, tetapi istilah mahal secara substansial tetap mengacu pada asumsi tidak adanya spirit untuk membela kaum lemah, sebab istilah yang digunakan merupakan bagian dari elitisme yang menafikan kemampuan kalangan lemah. Lalu bagaimana, kaitannya dengan asumsi tegas undang-undang kita bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang sama guna mencapai satu target menciptakan kehidupan yang cerdas dan terbentuknya manusia seutuhnya ?

Disinilah pemerintah perlu memproteksi orang-orang lemah itu melalui program Dinas pendidikan.

 

Maksudnya ?

Perlu ada keseimbangan proteksi antara mereka yang lemah serta mendorong mereka yang mampu untuk sekolah dengan benar. Dan biaya mahal kalau tetap seimbang, saya kira sama saja. Memang, kadang-kadang kita bingung, banyak orang yang memiliki kapasitas IQ lemah akan diladeni seperti apa ? Ini tetap menjadi tanggung jawab pemerintah, ia (pemerintah) bagaimanapun juga berkewajiban untuk tidak menelantarkan rakyatnya. Sungguhpun IQ nya sangat terbatas dan mereka bodoh, namun kalau cara berfikir kita kapitalistik, maka kita akan berfikir biarlah mereka bodoh dan biarlah mereka goblok. Maksudnya ada proteksi yang jelas. Makanya perlu ada PLS (Pendidikan Luar Sekolah). Ini khan merupakan bentuk proteksi bagi mereka yang lemah, disamping juga ada beasiswa yang didasarkan pada prestasi. Jadi, enggak apa-apa. Biarkan biaya tinggi yang penting ada proteksi bagi mereka yang berprestasi yang kebetulan berada dalam kondisi ekonomi lemah..

 

Selain itu, proteksi yang lain ?

Bagi mereka yang lemah juga disediakan tempat-tempat pembinaan khusus. Disinilah arti penting, pemerintah dalam menjalankan fungsinya untuk mencerdaskan kehidupan seluruh anak bangsa.

 

Apakah juga masuk dalam katagori proteksi ini, pembebasan SPP yang tampak menjadi keinginan di beberapa daerah lain ?

Saya kira itu (pembebasan SPP) kok tidak lagi populer. Orang sekolah tanpa bayar jelek namanya. Saya kira bayaran itu merupakan penghargaan kita pada ilmu, saya rasa tidak jelek kalau agak sedikit susah payah. Sekali lagi, bebas SPP itu tidak populer. Tetapi, model-model kapitalis mereka yang hanya boleh bertahan hidup, sementara yang lemah dibiarkan mati, itu yang tidak boleh terjadi.

 

Kira-kira dimana peran DPS dalam mengantisipasi merebaknya kapitalisasi di sektor pendidikan ini, secara khusus di Kabupaten Sumenep?

Saya rasa dalam apa, ya ? Begini saja, kalau dihitung-hitung biaya pendidikan di Sumenep sangat rendah sekali. Lihat saja madrasah dengan SPP tiga ribu setiap bulan dibandingkan dengan sekolah negeri yang berlebihan. Tetapi sebenarnya bukan dari sisi nominalnya yang harus dipertanyakan, tetapi dari sisi akuntabilitas saja. Ngambil uang banyak dari anak didik (di sekolah negeri, red.) untuk apa dan mau dipakai untuk apa? kalau memang tidak diperlukan mengapa harus ngambil. Maksudnya jangan akal-akalan lah !

 

Ini semakin gamang, kiyai. Hampir antara pendidikan mahal dan murah tidak jauh beda dan sulit untuk dibedakan. Kira-kira adakah perbedaan atau kriteria khusus tentang mahalnya pendididikan dan murahnya pendidikan ?

Itu sangat sulit dan relatif sekali. Pendidikan mahal atau murah di Sumenep dibandingkan dengan pendidikan mahal atau murah di Surabaya. Mungkin di Sumenep tidak ada adapa-apanya.

 

Kalau dalam konteks Sumenep saja kiyai, bagaimana kriteria mahal dan murah itu sebenarnya ?

Bukan itu persoalannya. Coba tanyakan saja di al-Amien Prenduan biayanya bisa lebih mahal dari SMU I. Tetapi karena al-Amien swasta orang kemudian tidak mempersoalkannya. Nah, yang kita persoalkan, seperti di SMPN I, dari sisi tranparansi dan akuntabilitas publik, uang itu mau dipakai untuk apa, wong sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Persoalannya bukan karena nominalnya, negeri kok masih mengambil uang pembangunan. Untuk apa ? itu yang harus di cek, kalau untuk guru, apakah memang tidak ada alokasi untuk guru.

 

Kalau langkah DPS sendiri dalam memajukan pendidikan di Sumenep ke depan, bagaimana kiyai ?

Memajukan pendidikan di suatu daerah, itu khan bukan hanya tugas satu elemen, seperti DPS saja. DPS dalan konteks ini hanya sebagai elemen masyarakat yang secara bersama-sama denga pemerintah Kabupaten dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memajukan pendidikan Sesungguhnya ini tidak dapat berdiri sendiri. Artinya bukan hanya DPS. Seebanrnya bukan hanya di sektor pendidikan saja, namun juga di sektor yang lain juga akan sangat membantu dalam memajukan pendidikan, misalnya percepatan sarana pembangunan, itu juga menjadi penentu kemajuan pendidikan, dalam arti pemerataan.. Misalnya, bagaimana kabupaten membuka isolasi bagi daerah-daerah terpencil. Bagi saya, keterpencilan itu selalu identik dengan keterbelakangan. Bagaimana keterisolasian bisa dibuka, supaya tidak akan ada daerah yang terisolir. Mungkin ini dengan cara memajukan lembaga-lembaga pendidikan. Atau melalui tokoh-tokoh masyarakat. Dan juga sangat ditentukan oleh sejauh mana peran ormas dalam membangun suatu pemikiran serta membangun kesadaran akan arti pentingnya pendidikan berkualitas.

 

 

 Back To Daftar Isi

KOLOM

Dicari : Pemimpin Pendidikan

Oleh. En. Hidayat

 

1

Ini kisah klasik, klise tapi nyata. Tentang bagaimana Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia II, yang kaisar Jepang lakukan bukannya mengumpulkan sisa panglima perangnya, melainkan justeru menyuruh mendata jumlah guru yang tersisa. Ketika ditanya alasannya, kaisar menjawab bahwa maju tidaknya Jepang kelak tidak tergantung kepada jumlah tentara yang banyak, tetapi kepada orang-orang pintar hasil didikan para guru.

Hasilnya, dalam waktu relatif singkat, kini Jepang telah menjadi salah satu super power dunia, khususnya di bidang ekonomi.

Alangkah manjurnya Jepang yang punya kaisar begitu peduli terhadap pendidikan rakyatnya.

2

Sadam Hussein, presiden Irak yang digulingkan pasukan AS dan sekutunya masih di cintai rakyatnya, khususnya kaum terpelajar. Kenapa? Karena sepanjang pemerintahannya yang konon otoriter itu, Saddam masih mampu menggratiskan seluruh biaya pendidikan dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi.

Ternyata, selain alasan minyak, Amerika mengagresi Irak juga karena tidak ingin rakyat Irak menjadi pintar.

Saddam Husein boleh terjungkal dari kekuasaannya tapi perhatiannya terhadap pendidikan pastilah membanggakan rakyatnya.

3

Tahun 1997, sama seperti Indonesia, Libya juga dilanda krisis ekonomi yang hebat. Negara-negara kapitalis barat, melalui IMF menyerukan agar negara yang terkena krisis mencabut subsidi kepada rakyatnya. Indonesia mematuhi resep bikinan IMF ini.

Tapi Muammar Qadafi, pemimpin Libya malah berteriak dengan lantang ”IMF jangan coba-coba menyuruh kami mencabut subsidi pendidikan”.

Walhasil, sampai sekarang rakyat Libya masih dapat menikmati pendidikan secara gratis.

Langkah Muammar Qadafi ini tentu dicatat sebagai tindakan kepahlawanan bagi dunia pendidikan Libya.

******

4

Di Indonesia, negeri yang sudah 59 tahun merdeka. Negeri yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang bikin negara lain iri untuk menjarah Indonesia, masih saja menyisakan persoalan tentang kegagalan pemerintah mengelola pendidikan bagi rakyatnya.

Di Indonesia setiap awal tahun ajaran baru selalu saja diributkan oleh beragam persoalan pendidikan mulai dari mahalnya uang gedung, uang buku, uang seragam, pungutan-pungutan lainnya yang bikin ibu-ibu sesak napas memikirkan nasib pendidikan anaknya.

Setiap tahun lalu saja kita dibenturkan pada persoalan apakah sekolah mampu menjamin pekerjaan bagi lulusannya. Setiap tahun kita selalu dihadapkan pada masih tingginya angka putus sekolah, masih tingginya angka pengangguran intelektual. Padahal UUD 45 sudah menjamin warga Indonesia berhak mendapatkan pengajaran yang layak, setiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak.

Daftar keruwetan dunia pendidikan ini akan semakin panjang bila harus dituliskan disini, yang cuma akan menambah buram potret dunia pendidikan kita. Jadi, jangan juga bicara soal anggaran pendidikan nasional yang mamang termasuk kecil dibelahan bumi ini. Bahkan anggaran pendidikan nasional kita lebih kecil bila dibandingkan dengan anggaran untuk meliter.

Apakah sudah tidak ada harapan bagi dunia pendidikan kita ? Ya, tentu saja kita punya harapan. Sebab cuma harapan yang bisa kita miliki. Harapan bahwa dunia pendidikan kita akan semakin baik. Harapan bahwa kita akan mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara lain.

Kita berharap ada perubahan dalam dunia pendidikan, mengingat sampai saat ini kita sudah mengalami enam kali pergantian kepemimpinan nasional.

Akankah pemerintah yang baru akan mampu melakukan menjawab harapan-harapan kita tentang perubahan dunia pendidikan ataukah akan terus melanjutkan kegagalan ini.

Saya tidak ingin bermimpi punya pendidikan bernama Hirohito, Saddam Hussein, ataupun Muammar Qadafi.

Tapi saya juga jangan dilarang bermimpi punya pemimpin Indonesia yang punya nyali untuk melakukan perbaikan didunia pendidikan !

 

 

 Back To Daftar Isi

UUD’45 dan Pendidikan Tanpa Kelas

Oleh. Mohammad Suhaidi RB.

 

Asumsi bahwa setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang sama, sesuai dengan amanat UUD’45 merupakan referensi utama tentang gagasan luhur bangsa ini untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas dan berwawasan. Artinya, negara harus mampu memenuhi target ideal mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata, sehingga akan terbentuk kehidupan yang sesuai dengan standar UUD’45, yakni masyarakat beradab dan berkeadaban.

Akan tetapi, kalimat sederhana yang kemudian harus dimunculkan, sudahkah semangat pendidikan ala UUD’45 itu dibuktikan ? Sudahkah pemerataan pendidikan dapat dibagi secara merata;bukan hanya bagi si kaya, tetapi juga bagi mereka yang mustad’afin secara ekonomi? Jawaban dari pertanyaan ini, mungkin tidak terlalu penting untuk diperdebatkan terlalu panjang, karena jawabannya sudah pasti sangat jelas, pendidikan kita memang masih belum memihak terhadap kalangan bawah.

Alasannnya, mungkin tidak terlalu muluk-muluk, karena data konkret tentang ketidak adilan berpendidikan tersebut banyak berkeliaran di sekitar kita; di pasar-pasar, di gang-gang kumuh, di jalanan dan tempat-tempat yang lain. Siapa mereka ? Merekalah anak-anak bangsa ini yang juga dilahirkan dari rahim ibu pertiwi, yang meyakini UUD’45 dan Pancasila juga sebagai landasan keberadaannya sebagai warga negara, tetapi tidak mempunyai kesempatan untuk juga menikmati indahnya dunia pendidikan hanya karena satu alasan mereka “ditakdirkan” menjadi anak-anak yang tidak mampu alias minal fuqoro’ wal masaakin. Mahalnya harga pendidikan merupakan hambatan utama untuk ditembus oleh lapisan masyarakat bawah, kecuali hanya bagi mereka yang kaya. Maka asumsi pesimistis untuk menggambarkan kenyataan tentang pendidikan buram ini “ yang pintar makin pintar, yang miskin tetap semakin bodoh “, karena pendidikan tidak lagi ditampilkan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki oleh semua orang.

Kenyataan ini tanpa terasa telah mementahkan visi pencerdasan bangsa ini, dimana konsepsi pendidikan harus diberlakukan dan bisa dinikmati oleh semua lapisan, sehingga masa gelap kejahiliyaan tidak akan menjadi hantu menakutkan bagi bangsa yang menyandang predikat sebagai bangsa yang gemah ripah loh jinawi tata titih tenterem kertarahardjo ini.

Dalam kondisi ini, keterbatasan SDM jelas akan lebih mendominasi, karena komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak dijadikan sebagai amanat mutlak oleh semua pihak, wabil khusus pemerintah untuk secara jantan memberikan porsi yang ausa’ (luas) terhadap pembangunan di sektor pendidikan, akibatnya krisis multidimensi yang tengah diderita oleh bangsa ini pada hakikatnya tidak lepas dari rendahnya kualitas pendidikan orang-orang di dalamnya, baik pendidikan berbasis SDM (sumber daya “manusia” maupun “moral”). Keterbatasan di dalam dua sektor ini menjadi bumerang kegagalan bangsa ini menjadi bangsa yang betul-betul merdeka, sehingga kesejahteraan dan ketenteraman rakyat yang sewajibnya sudah bisa dinikmati masih belum mampu dicapai. Hal itu terjadi karena pembangunan intelektualitas dan moralitas melalui spirit pendidikan yang utuh dalam pandangan penulis telah gagal di bangun ; bahwa visi utama pendidikan dalam melakukan pencerdasan yang kaffah bagi semua, tanpa mengenal batas dan kelas sosial, hanya diletakkan sebagai wacana yang tidak pernah terbukti.

Pendidikan harus diarahkan untuk memberikan rangsangan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang tercerahkan dan diberlakukan untuk semua, karena pendidikan menjadi milik setiap individu serta menjadi tanggung jawab negara. Ketersendatan ini merupakan problem dalam kehidupan bangsa ini, sehingga peradaban sebagai lambang dari kreatifitas suatu bangsa yang seharusnya dapat menjadi pewarna kemajuan itu sendiri, tidak akan pernah mampu dicapai. Kehidupan bangsa ini akan kehilangan nilai produktifnya, karena manusia yang menakhkodai di dalamnya terdiri dari orang-orang yang terlena dalam kekeringan wawasan dan ketidakberdayaan pengetahuan, akibat ketidakmerataan pendidikan yang sengaja diciptakan.. Artinya, lemahnya syahwat pendidikan yang dilakukan akan sangat berpengaruh sekali terhadap gerak dan dinamika kemajuan yang akan dibangun.

Asumsi ideal tersebut akan dicapai dengan satu syarat apabila pendidikan dapat secara merata diberikan dan dirasakan. Keberadaan pendidikan sejatinya diwujudkan dalam kerangka untuk mengangkis bangsa secara umum dari lembah degradasi martabat dan dekadensi SDM ke dalam arena baru yang bernama pencerahan, karena secara substansial kualitas pendidikan suatu bangsa mencerminkan kemajuan peradaban yang dimilikinya secara total. Dengan kata lain, standarisasi kemajuan akan sangat ditopang oleh idealisme dasar ; sejauh mana pendidikan mendapatkan tempat untuk dibangun secara merata.

Dalam catatan ini penulis mau menegaskan bahwa pendidikan menjadi milik dan hak setiap orang. Kecerdasan dan kualitas intelektual, bukan hanya menjadi keinginan kalangan tertentu, tetapi juga semua orang yang dilahirkan di dalam negeri ini. Keberhasilan pembangunan negara bukan hanya didasarkan pada satu kaca mata, yakni pembangunan di sektor fisik an sich, tetapi yang lebih besar dan sangat penting ialah terletak pada pembangunan di sektor pendidikan, karena pendidikan merupakan mercusuar kehidupan dan cahaya peradaban suatu bangsa.

Kemerataan pendidikan merupakan cerminan utuh keberhasilan dalam mencapai predikat bangsa yang tercerahkan. Ia tidak akan dapat terpenuhi, tanpa melakukan terobosan maksimal; salah satunya bagaimana mengembalikan hakikat dan arah pendidikan ke asalnya, yakni ia dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat dalam berbagai lapisan. Maka, upaya menjual mahalkan pendidikan harus dihentikan, karena sama sekali tidak mencerminkan idealisme UUD’45 tentang pembentukan manusia seutuhnya.

Asumsi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, mengidealkan bangunan kependidikan yang luhur dan harus dilaksanakan dengan tetap mengacu pada paradigma pendidikanuntuk semua ; bagaimana mengorbitkan semangat kependidikan, sehingga betul-betul memperhatikan realitas di tingkat bawah.

Pendidikan dalam kerangka ini, merupakan asumsi lain dari model pendidikan yang tanpa kelas (sosial). Semangat pendidikan akan lebih diarahkan pada satu keinginan bagaimana pendidikan dapat menyentuh dan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pendidikan tidak akan dihargai dengan biaya yang sangat berat, tetapi memang betul-betul secara jujur diarahkan untuk membangkitkan gairah kecerdasan dan pengembangan potensi masyarakat secara umum. Maka setiap jiwa mesti mendapatkan perlakuan yang sama dan kesempatan yang sama dalam mengarungi dunia pendidikan. Pencerdasan tidak hanya akan digerakkan untuk membela “si kaya” an sich, dengan membiarkan “si miskin” tetap mabni dalam jeratan kebodohannya.

Setidaknya itulah, posisi dan fungsi pendidikan diarahkan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan. Tugas berat bangsa ini ke depan adalah melaksanakan dengan jujur amanat UUD 1945 dalam mewujudkan bangsa yang kreatif dan produktif dengan tidak mengkapitalkan pendidikan.

 

 

 Back To Daftar Isi

RESENSI

KBK, METODE BARU MEMBEBASKAN SEKOLAH

Oleh. Molyadi Wasik

 

Kemajuan peradaban suatu bangsa pada hakikatnya tidak lepas dari sejauh mana pendidikan di tempatkan dan diposisikan di dalamnya. Pendidikan adalah mercusuar peradaban yang akan menjadi penopang sejati terciptanya civil society yang menjadi idaman bersama. Sebab, pendidikan pada hakikatnya merupakan tonggak yang tidak bisa lepas dari bangunan civil society, sehingga asumsi yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan obor yang akan menerangi dan mencahayai kejumudan intelektual akan menemukan titik kebenarannya.

Dalam konteks ini, pendidikan menjadi sesuatu yang niscaya untuk dibangun demi terciptanya peradaban gemilang dan penuh dengan spirit kemajuan, sebab kualitas pendidikan yang maksimal akan mampu mewujudkan harapan bersama, yakni melahirkan kehidupan sejahtera yang pada gilirannya akan menjadi media terbentuknya generasi-generasi berbobot, kreatif dan produktif, karena meminjam kalimat Munir Mulkhan – pendidikan (sekolah) merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap tumbuhnya kepribadian suatu generasi, selain jalur keluarga dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pendidikan yang seharusnya tidak semata-mata dikaitkan dengan kemampuan melakukan tindakan tertentu, tetapi juga berkaitan dengan komitmen etik dan sosial masyarakat. Pendidikan dengan demikian perlu menyiapkan generasi yang tidak sekedar cerdas dan terampil, tetapi juga beriman dan berintelektual.

Oleh karena itu, untuk menggapai keinginan tersebut kuncinya terletak pada paradigma pendidikan dan bagaimana sekolah dapat berfungsi sesuai dengan idealisme dasarnya sebagai cahaya pembebas dan istiqomah dalam menjalankan tugas sucinya melakukan upaya pencerdasan yang aktif, kontributif dan reformatif dalam merespon kebutuhan anak didik, sehingga akan mampu melahirkan kader-kader bangsa yang dapat berpacu dan bersaing dalam kancah global. Anak-anak yang mempunyai kepekaan intelektual dan skill yang jelas dan dapat diandalkan dalam mengikuti pergulatan global yang sangat kompetitif.

Dalam buku ini Dr. E. Mulyasa, M.Pd memberikan gambaran jelas tentang tantangan baru pendidkan sekaligus memberikan solusi bagaimana seharusnya pendidikan di arahkan agar dapat menjadi salah satu sarana penyiapan kader bangsa yang yang memiliki kemampuan maksimal melalui konsep competency based curriculum, karena konsep dasar KBK dalam pandangan Mulyasa diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab (hlm. 39), sehingga out put dari sekolah pada akhirnya dapat mencetak generasi bangsa yang betul-betul terberdayakan dan tercerahkan. Artinya, target dominan dari keberadaan sekolah akan menemukan titik idealnya ; bahwa tugas sekolah ialah bagaimana membentuk anak didik betul-betul terdidik baik secara lahiriyah maupun batiniyah, dimana perilaku atau keterampilan peserta didik sebagai kriteria utamanya (hlm. 40)

*****

KBK disusun pada mulanya diinspirasi oleh kesadaran bersama bahwa paradigma dan sistem pendidikan (nasional) yang selama ini hanya mengandalkan arah dan tujuan an sich dan tidak secara maksimal mencerminkan kermurnian bersekolah sebagai lembaga yang bertugas untuk menjadi sarana pendidikan bagi anak didik, karena target yang ingin dicapai masih berada dalam ruang abstrak dan kalkulatif, karena model kurikulum yang diberikan sama sekali tidak mencerminkan idealisasi hakikat sekolah ; bahwa secara mendasar sekolah merupakan wahana pembentukan jati diri kemanusiaan dengan satu semangat pembebasan. Peserta didik akan betul-betul diposisikan sebagai pelaku aktif yang berhak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya dengan menempatkan seorang guru hanya sebagai pendamping, bukan pelaku utama seperti yang selama ini telah dipraktekkan dalam dunia pendidikan kita. Guru dengan demikian hanya bertugas mengarahkan dan memotivasi, bukan menggurui dengan memberikan kebebasan dan keleluasaan pada anak didik untuk berkembang dan mengembangkan dirinya.
Oleh karena itu, dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) guru tidak lagi berperan sebagai aktor/aktris utama dalam proses pembelajaran, karena pembelajaran dapat dilakukan dengan mendayagunakan aneka ragam sumber belajar. Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa kegiatan pembelajaran baru dikatakan sempurna kala ada ceramah dari guru (halm. 47).

Sistem KBK setidaknya mau menjawab problematika pendidikan ini dengan mengidealkan generasi-generasi yang siap tampil ke permukaan dengan kualitas, wawasan, kreatifitas, produktifitas dan moralitas yang mumpuni dalam mengahadapi tantangan global yang sarat dengan kompleksitas masalah, dimana skill, keterampilan dan moralitas menjadi basis dan titik pijaknya. Apalagi yang menjadi substansi dari KBK itu sendiri merupakan kolaborasi dari berbagai faktor, antara lain knowlidge (pengetahuan ), skill ( kemampuan dan attitudes ( sikap ).

Akumulasi dari faktor-faktor inilah, predikat manusia seutuhnya akan menjadi kenyataan. Inilah sasaran dan filosofi dasar dari sistem KBK yang terangkum dalam pengertiannya bahwa secara umum KBK adalah kurikulum yang bertujuan untuk membekali keterampilan hidup peserta didik agar mereka dapat berperan secara aktif di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara.

Dengan demikian, idealisasi dari pengamalan KBK dalam struktur dan sistem belajar mengajar menjadi mutlak dilakukan, karena prinsip KBK ternyata lebih mengarah pada substansi keberadaan sekolah sebagai sebuah intitusi pendidikan yang pada awalnya dapat dikatakan sangat mandul dan impoten.

Prinsip-prinsip dasar KBK yang menekankan pada (1) kualitas keilmuan, nilai dan ahlakul karimah (2) pengembangan keterampilan hidup (3) kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada peserta didik , partisipatif (4) paradigma belajar sepanjang hayat ( minal mahdi ilal lahdi ), bukan paradigma belajar keterputusan yang dibatasi oleh tingkat dan gedung pendidikan.

Dalam konteks ini, out put dari pendidikan akan terasa dan dirasa mampu menjadi bagian integral dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan bangsa. Pendidikan akan dapat melahirkan generasi yang siap untuk memakai dan dipakai dimana dan oleh siapapun.

Buku ini sangat baik dan layak untuk dimanfaatkan, karena konsep yang disuguhkan dapat menjadi sarana bagaimana kita seharusnya memposisikan dunia pendidikan dan anak didik sehingga mampu menggapai piala manusia seutuhnya dengan muatan keterampilan dan keluasan wawasan yang menjamin. Salah satu kelebihannya, karena buku ini bukan hanya memaparkan tentang konsep, tetapi juga karakteristik serta bagaimana mengimplimentasikannya. Selamat membaca ! (Peresensi adalah Mahasiswa STIKA dan aktivis PMII Sumenep)